Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan media komiksebagai media pembelajaran IPA. Penelitian ini
memfokuskan pada materi perubahan lingkungan fisik terhadap daratan kelas 4 SD.
Jenis penelitian yang digunakan adalah Research
and Development (RnD) dan menggunakan model pengembangan ADDIE. Model
pengembangan ADDIE memiliki tahapan Analysis, Design, Development,
Implementation dan Evaluation. Subjek penelitian ini sebanyak 37 siswa. Teknik
pengumpulan data yang digunakan berupa uji pakar/validasi pakar, tes, nontes.
Hasil penelitian menunjukkan produk yang dihasilkan: (1) Media komik Menemukan
Perubahan Lingkungan disekitarku berdasarkan model pembelajaran discovery
learning. (2) Kevalidan media komik ditunjukkan dengan hasil uji ahli/uji pakar
materi dan media. Pada uji pakar materi diperoleh skor 76% dan pada uji ahli/
pakar media diperoleh skor 88% dengan kategori sangat baik. Keefektifan media
komik ditunjukkan dengan hasil angket respon siswa diperoleh dengan skor 90%
dan angket respon guru diperoleh skor 82% dengan kategori sangat baik. (3)
Hasil belajar kognitif terdapat
peningkatan dari 60,54 menjadi 81,08.
Salah satu mata pelajaran yang menjadi tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan di abad 21 adalah pembelajaran proses pada mata pelajaran sejarah. Metode pembelajaran sejarah di kelas cenderung monoton dengan menggunakan metode ceramah membuat siswa mudah bosan dan kurang memahami materi. Di sisi lain, di sana adalah media komik bergambar, mudah dibawa, dan dibaca yang dapat memuat teks, gambar, dan adegan. Ini bisa menjadi sebuah media alternatif pembelajaran sejarah karena merangsang siswa untuk berkreasi, imajinatif, dan inovatif, serta mendorong mereka untuk mandiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manfaat penggunaan komik sebagai media pembelajaran sejarah untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan teknik analisis deskriptif. Peneliti mengumpulkan data dari sebelumnya studi yang relevan dalam sepuluh tahun terakhir. Hasil penelitian yang telah dilakukan menggambarkan bahwa penggunaan media komik dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa secara signifikan.
Memasuki zaman abad ke-21
perkembangan teknologi semakin cepat
mengalami kemajuan. Berbagai sektor di
dalam masyarakat telah memanfaatkan
kemajuan teknologi ini untuk mempermudah
pekerjaan mereka, mulai dari sektor industri,
transportasi, sampai sektor pelayanan umum
dan perekonomian. Sektor Pendidikan juga
tidak lepas akan pengaruh dari kemajuan
teknologi ini. Sebagai salah satu sektor yang
sangat diperlukan dan menjadi titik tumpu
dalam perkembangan masyarakat, pendidikan
perlu mengusahakan lebih jauh pemanfaatan
teknologi dalam sistem pembelajarannya, hal
ini dilakukan dalam upaya menyesuaikan
dengan kondisi zaman sehingga mudah
diterima oleh masyarakat.
Satu bagian penting dalam jalannya
pendidikan yakni proses pembelajaran dan
yang menjadi kunci dalam melaksanakan
proses pembelajaran yang baik adalah
penyampaian informasi kepada peserta didik.
Kemajuan teknologi memungkinkan informasi
untuk bergerak lebih cepat dengan bantuan jaringan internet. Salah satu ciri perkembangan
teknologi dalam bidang pendidikan adalah
penggunaan media pembelajaran yang
semakin maju untuk menyampaikan informasi,
contohnya seperti pemanfaatan proyektor dan
power point, media film dan buku elektronik.
Salah satu media penyampaian informasi yang
berpotensi dapat dimanfaatkan sebagai media
pembelajaran adalah komik, khususnya komik
digital.
Komik merupakan salah satu media
penyampaian informasi yang cukup dikenal
lama oleh masyarakat dalam bentuk cetak.
Dengan kemajuan teknologi, bentuk komik
semakin modern dalam bentuk digital sehingga
dapat dibaca tanpa terbatas oleh waktu dan
tempat dengan ponsel pintar. Walaupun pada
mulanya komik hanya bersifat sebagai hiburan
saja dan bersifat fiksi, tapi seiring
perkembangan masyarakat muncul kategorikategori komik baru yang mampu memiliki
unsur pendidikan di dalamnya seperti edukasi,
fakta-fakta informasi, dan sebagainya.
Mata pelajaran yang menjadi tantangan
dalam jalannya pendidikan di abad-21 ini adalah mata pelajaran sejarah. Metode
pembelajaran sejarah di dalam kelas cenderung
bersifat monoton dengan menggunakan
metode pembelajaran ceramah. Hal ini jelas
saja membuat peserta didik menjadi mudah
bosan dan tidak memahami materi dengan
baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
membuat pembelajaran sejarah lebih efektif
seperti dengan memutarkan film dokumenter
atau kunjungan ke museum. Namun, kedua hal
tersebut memakan waktu persiapan dan
pelaksanaan yang cukup lama serta
memerlukan waktu dan media khusus untuk
dilaksanakan.
Di sisi lain, media komik yang
bergambar, mudah dibawa dan dibaca serta
dapat memuat teks, gambar dan adegan
mampu merancang imajinasi siswa untuk
menggambarkan ulang peristiwa masa lampau
di dalam pikirannya sendiri dan dapat
mencapai tingkat pembelajaran tertinggi, yakni
pembelajaran mandiri.
Melihat latar belakang yang telah
dijelaskan sebelumnya sekaligus
mempersempit bidan pembahasan agar tidak
melebar. Maka, peneliti tertarik untuk meneliti
tentang pemanfaatan komik sebagai media
pembelajaran sejarah dalam meningkatkan
motivasi dan hasil belajar peserta didik.
Metode Penelitian :
Penelitian ini menggunakan metode
literature review dengan teknik analisis
deskriptif. Penelitian ini menggunakan teknik
tinjauan literatur sistematis untuk
mengumpulkan berbagai data dan bahan yang
bersumber dari artikel jurnal ilmiah terdahulu
dalam pembatasan terbit 10 tahun terakhir
dengan kata kunci “media”, “komik”,
“pembelajaran”, dan “sejarah”. Metode ini
dilakukan guna memperoleh data informasi
yang bersifat teoritis dan sistematis.
Hasil dan pembahasan :
Pembelajaran sejarah dikenal sebagai
pembelajaran yang jenuh dan membosankan
karena guru yang cenderung menggunakan
metode ceramah dalam menjelaskan materi
dan kurangnya penggunaan media dalam
proses pembelajaran. Diperlukan adanya
kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh
pendidik guna memaksimalkan proses
pembelajaran sejarah yang terkenal
membosankan. Dewasa ini, dengan seluruh kemajuan
teknologi yang ada, perkembangan demi
perkembangan terus terjadi di berbagai bidang,
di antaranya adalah bidang pendidikan. Bidang
pendidikan terus berbenah diri dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Beberapa hal yang berkembang di dunia
pendidikan adalah program kampus merdeka,
kekinian ilmu dan pengembangan media
pembelajaran yang inovatif dan kreatif seiring
menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Satu
media pembelajaran yang juga berkembang di
era kemajuan teknologi ialah media cetak
ataupun digital yang tidak hanya berupa buku
teks tapi juga komik. Komik berkembang dari media hiburan
menjadi media edukasi di bawah asuhan
pendidikan. Komik dijadikan media dalam
mentransfer materi dari guru kepada siswa.
Keunikan dari komik yang memiliki gambar,
karakter, warna, teks dan bahkan audio-visual
dalam bentuk digitalnya memudahkan siswa
dalam memaknai suatu informasi yang
disusupi ke dalam komik.
Kegiatan pembelajaran sejarah yang
cenderung lampau dan kaku dapat dibawakan
dalam bentuk komik dengan cerita-cerita yang mengisahkan tentang suatu peristiwa
bersejarah. Banyak penelitian-penelitian yang
telah membahas bahwa bagaimana komik
dapat dijadikan sebagai media untuk
pembelajaran sejarah dengan memasukkan
cerita-cerita sejarah ke dalamnya sesuai
dengan kompetensi dasar yang ingin dituju
oleh pendidikan. Penelitian-penelitian
terdahulu juga menerangkan bahwa hasil
belajar siswa dengan memakai komik sebagai
media belajar sejarah mengalami peningkatan,
hal yang sama juga terjadi pada motivasi
peserta didik yang meningkat dengan
signifikan, sehingga memungkinkan bahwa
komik dapat dijadikan bahan pendukung
utama dalam media menyampaikan materi
sejarah dan tidak terpaku pada metode
ceramah yang membosankan.
Walaupun banyak kelemahan dari
penggunaan media komik ini seperti
memerlukan persiapan yang cukup lama, perlu
ada bakat khusus dalam menggambar komik
atau menyusun cerita. Namun, mulai banyak
bermunculan komik-komik cetak maupun
digital yang mengangkat tema sejarah,
selanjutnya tinggal tugas pendidik saja yang
perlu memilah mana-mana saja komik yang
cocok dan sesuai dengan materi ajar yang akan
dituju untuk peserta didik.
JURNAL 4
Judul : Penggunaan Manga Humor Dalam Pembelajaran Bahasa Dan Peneltian Bahasa Jepang.
Penulis : Akhmad Saifudin.
Link : file:///C:/Users/hp/Downloads/8711-18605-2-PB.pdf
Tulisan ini adalah hasil aktifitas
pembelajaran mata kuliah Research
Method in Linguistics di Program Studi
Sastra Jepang Universitas Dian
Nuswantoro Semarang. Selama
bertahun-tahun mengampu mata kuliah
ini setiap tahunnya saya selalu
menemukan permasalahan yang sama,
yakni kesulitan mahasiswa dalam
memilih topik dan permasalahan.
Untuk membantu mengatasi kesulitan
mahasiswa dalam memunculkan ide
penelitian, saya mengajak mahasiswa
secara berkelompok melakukan
penelitian kecil tentang eksplorasi
penggunaan media manga humor dalam
pembelajaran dan penelitian bahasa
Jepang. Penelitian ini selain ditujukan
sebagai trigger dalam menemukan ide
penelitian sekaligus juga sebagai bahan
untuk mempelajari dan memperdalam Bahasa Jepang.
Penelitian ini mengambil manga
sebagai objek karena manga adalah salah
satu hasil budaya popular Jepang yang
sangat popular dan sangat pesat
perkembangannya. Kepopularan manga
bahkan sampai membuat manga sebagai
genre tersendiri yang dibedakan dengan
komik pada umumnya. Manga
mempunyai ciri khas terutama pada
teknis penggambaran tokoh,
penggambaran background yang penuh
dengan gambar dan tulisan untuk
menekankan situasi cerita, serta bentuk
dan urutan panel cerita yang dinamis.
Penggambaran tokoh pada manga pada
umumnya digambarkan mempunyai
mata yang bulat lebar dan ukuran hidung
dan mulut yang kecil. Visualisasi raut
muka, bentuk mata, rambut, dan bentuk
tubuh dapat berubah-ubah sangat dinamis menyesuaikan situasi.
Penggambaran background juga sangat
dinamis dan kaya dengan ornament berupa goresan-goresan, tanda baca,
maupun onomatopoeia. Bentuk panel
gambar tidak harus selalu kotak dan
seringkali gambar melewati batas garis
panel.
Selain karakter teknis yang dimiliki
manga seperti tersebut di atas, di dalam
manga juga terdapat konteks budaya.
Konteks budaya ini adalah salah satu
faktor utama mengapa Manga dijadikan
media pembelajaran. Manga sering
dikatakan sebagai refleksi dari
kehidupan “nyata” masyarakat Jepang,
karena diproduksi untuk konsumsi orang
Jepang (Wasabi Brother, 1998). Manga
juga disebut salah satu cara yang baik dalam mempelajari “kondisi Jepang”
(Murakami, 2008), Manga juga
merupakan media yang murah dan
mudah diperoleh (Larose, 1993 dalam
Okazaki, 1993). Manga, sebagai media
visual Manga juga mempunyai konteks
yang memungkinkan pengamatan
terhadap partisipan percakapan dan
situasinya (Kaneko, 2008).
Kemudian dari segi konten bahasa, di
dalam Manga banyak terdapat tuturan-tuturan langsung, pendek, dan tidak
terlalu kompleks (Whiting, J, 2016).
Metode Penelitian :
Data penelitian ini berupa 2 yonkoma
manga yang masing-masing berjudul
Kenmon ‘inspeksi” dan Toukoukyohi
‘gak mau ke sekolah’. Data diambil dari
sumber data Living Japanese Through
Comics. Studi dilakukan dengan cara
memberikan tugas kepada subjek yakni,
mahasiswa sejumlah 30 orang untuk
membaca dan mengamati secara detil ke
dua judul manga. Mahasiswa kemudian
diberikan sejumlah pertanyaan dan hasil
jawaban dari pertanyaan tersebut
didiskusikan di kelas.
Adapun pertanyaan yang diberikan
adalah sebagai berikut.
1. Apakah Anda menyukai manga?
2. Apakah Anda tertarik dengan
manga yang Anda baca?
3. Apa yang membuat Anda tertarik?
4. Jelaskan apa saja yang Anda
temukan di dalam manga yang
Anda baca.
5. Fenomena bahasa apa saja yang
bisa ditemukan dalam manga yang
Anda baca?
6. Apakah menurut Anda kita bisa
belajar bahasa Jepang melalui
manga?
7. Bagaimana cara yang menarik agar
kita bisa belajar bahasa Jepang
melalui manga?
Hasil dan pembahasan :
Mengapa Manga Humor?
- Menyenangkan
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus
dijelaskan sifat atau karakter yang
terdapat pada manga dan dan tanggapan
orang terhadap keberadaan manga.
Manga yang dikaji di studi ini adalah
manga berbentuk yonkoma bergenre
humor. Membaca manga adalah kegiatan
yang menyenangkan. Hal ini berlaku
bagi pengajar maupun pemelajar bahasa
Jepang. Dari 30 mahasiswa yang diberi
pertanyaan tentang manga (pertanyaan 1
dan 2), semua mahasiswa menjawab
tertarik dengan manga. Manga terutama
manga humor bisa menghibur mereka dengan kelucuan dan kekonyolan baik
dalam gambar maupun tuturannya.
Unsur kesenangan dalam membaca
manga tentu saja menjadi poin penting
pembelajaran. Dengan adanya perasaan
senang motivasi pemelajar menjadi lebih
tinggi.
- Sederhana dalam bentuk dan
cerita
Bentuk Yonkoma manga terdiri dari
empat kotak panel yang penyajiannya
pada umumnya secara vertikal dengan
urutan cerita dari atas ke bawah.
Meskipun juga ada yang disajikan secara
horisontal dengan urutan penceritaan
dari kiri ke kanan. Yonkoma mempunyai
alur struktur cerita yang disebut
Kishoutenketsu. Istilah tersebut
merupakan bentukan dari nama ke empat
panel dalam manga. Ke empat panel
tersembut mempunyai nama dan
fungsinya masing-masing. Panel pertama
disebut 起 (ki) digunakan untuk
membentuk dasar cerita, mengatur
adegan, memberikan setting, situasi dan
karakter. Panel ke dua disebut 承(shou)
sebagai pengembangan cerita dari plot pertama, namun tidak memberikan
perubahan plot yang signifikan. Panel ke
tiga biasanya menjadi inti cerita,
klimaks, dan kejadian yang tidak terduga
biasanya terjadi di sini. Panel ini disebut
転(Ten). Terakhir adalah 結 (ketsu) yang
merupakan konklusi dan dampak dari
kejadian dari panel ketiga.
Dengan hanya terdiri dari empat
panel, yonkoma manga menjadi media
yang tepat untuk pembelajaran bahasa
dan penelitian. Ruang lingkup yang
terbatas menjadikan pemelajar dapat
fokus dan lebih detil dalam pengamatan
terhadap yonkoma manga. Pemelajar
dapat memerikan secara detil unsurunsur yang terdapat dalam manga, baik
dari segi gambar, tokoh, ornamen,
konteks, dan bahasa yang digunakan.
Keseluruhan unsur-unsur tersebut
menjadi satu kesatuan dalam manga. Dengan kesederhanaan bentuk dan
struktur yonkoma manga, pembaca
manga juga tidak membutuhkan waktu
yang lama untuk membacanya. Cerita
yang singkat menjadikan pembaca bisa
sewaktu-waktu berhenti dan kemudian dilanjutkan pada kesempatan lain tanpa
terganggu dengan cerita yang terpotong.
Ini berbeda dengan novel atau cerpen
yang biasanya membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk membacanya.
Ketika membaca novel juga harus
memilih atau menyediakan waktu luang
karena jika membacanya tidak sampai
tuntas bisa mengganggu mood, lupa plot
cerita, dan lain-lain. Meskipun sederhana
manga tetap memenuhi persyaratan
untuk dijadikan bahan kajian ilmiah
seperti halnya novel. Di dalam manga
(sama dengan komik) terdapat pesan,
makna simbolis tokoh-tokohnya, struktur
cerita, bahasa, dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam cerita manga.
- Pesan dalam bentuk visual dan
verbal
Mangga adalah wacana cerita yang
disampaikan dalam bentuk visual dan
verbal yang berasal dari Jepang. Media
visual dan verbal dalam bentuk teks
bersama-sama menjadi satu kesatuan
dalam penyampaian pesan manga. Raut
muka, bentuk mata, mulut, dan gerakan
tubuh, yang merepresentasikan emosi digambarkan secara visual bersamaan
dengan tuturan verbal para tokohnya
yang dituliskan dengan teks. Seringkali
background suasana yang mendukung
emosi tokoh atau suasana sekitar juga
direpresentasikan dalam bentuk visual.
Di manga juga sering ditemukan teks
yang ditulis dengan katakana untuk
merepresentasikan bunyi dan suasana
sekitar (onomatopeia). Dengan demikian
di dalam manga sebenarnya sudah
mewakili sebuah aktifitas komunikasi
dari penutur asli bahasa Jepang.
Visualisasi tokoh bisa mencerminkan
peran sosial dan perasaan dari peserta
komunikasi. Latar fisik juga nampak
dalam manga selain ungkapan verbal
yang ditulis di dalam balon percakapan. Artinya selain tuturan, hadir juga di
dalam manga adalah konteks
percakapan.
- Bahasa yang digunakan langsung
dan tidak berbelit-belit
Bahasa yang digunakan di dalam
manga biasanya singkat dan langsung.
Kita akan banyak menemukan ungkapan
sehari-hari yang tidak kita temukan di kelas. Kita bisa menemukan ungkapan
idiomatis, bahasa yang strukturnya tidak
lengkap, bahasa slang, dan juga
ungkapan-ungkapan negatif seperti
makian, sumpah serapah dan lain-lain.
- Onomatopeia
Salah satu ciri manga adalah
banyaknya tulisan Katakana yang
berfungsi untuk merepresentasikan
bunyi, kejadian, dan suasana sekitar.
Simpulan :
Manga, terutama yonkoma manga
yang berjenis humor adalah media
menarik, efektif, serta dapat
membangkitkan minat dan motivasi
pemelajar dalam pembelajaran bahasa
Jepang. Manga merupakan contoh komunikasi bahasa Jepang yang dapat
melatih kemampuan berbahasa meliputi
ke empat keterampilan berbahasa. Oleh
karena di dalam manga terdapat konteks
yang direpresentasikan dalam visual dan
teks, maka higher level thinking yang
menjadi tujuan pembelajaran dapat
dicapai. Pemelajar tidak hanya
mempelajari bahasa saja, namun juga
belajar perilaku dan budaya orang
Jepang.
Dalam pembahasan tentang manga nampak bahwa aktifitas pemelajar menjadi dominan. Pembelajaran bahasa Jepang dengan media manga humor menawarkan kreatifitas, kemandirian berfikir, dan keberagaman pendapat. Catatan yang bisa diberikan di dalam kesimpulan ini adalah manga humor sebagai media harus diberikan secara utuh sebagai sebuah wacana kesatuan antara visual dan teks
JURNAL 5
Judul : Hubungan Antara Minat Terhadap Komik Jepang (Manga) Dengan Kemampuan Rekognisi Emosi Melalui Ekspresi Wajah.
Penulis : Nian Astiningrum, Johana Endang Prawitasari.
Link : file:///C:/Users/hp/Downloads/7093-12329-1-PB.pdf
Istilah ‘emosi’ tentunya bukan lagi
sesuatu yang asing dalam masyarakat
saat ini, masyarakat pada umumnya
menganggap emosi sebagai sesuatu
yang negatif. Emosi dianggap sebagai
sesuatu yang merusak pemikiran logis
seseorang sehingga menggiring pada
keputusan yang salah dan berakibat
buruk, seperti kerusakan fisik atau
prestasi yang menurun. Hal ini dapat
dilihat dari dua artikel berikut ini: Hal
ini bisa dilihat pada judul artikel berikut:
“Emosi, Jamaah Keroyok Menteri
Agama” (Data Base Tokoh Indonesia, 1
Januari 2007) dan “Clijsters Harus
Lawan Emosi” (Waspada, 15 Januari
2007). Karena itulah, pada berbagai
percakapan, seringkali terdengar penda‐
pat bahwa seseorang harus senantiasa
berpikir rasional dan bukan emosional.
Emosi sendiri didefinisikan bera‐
gam oleh berbagai ahli, misalnya Planalp
(1999) yang mendefinisikan emosi
sebagai proses yang terjadi karena
beberapa komponen bekerja bersama
untuk menghasilkan emosi tersebut.
Komponen tersebut diantaranya adalah:
objek atau penyebab, penilaian,
perubahan fisiologis, kecenderungan perilaku atau ekspresi, dan pengaturan
atau regulasi. Berdasarkan pandangan
ini, maka emosi dapat terjadi karena
adanya suatu penilaian terhadap suatu
kejadian yang kemudian penilaian
tersebut mempengaruhi keadaan fisio‐
logis, sehingga menghasilkan perilaku
tertentu, dan adanya usaha untuk
mengelola perilaku tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Parrot (dalam Brewer & Hewstone
(Eds.), 2004), yang menyebutkan bahwa
suatu episode emosi dimulai dengan
penilaian (appraisal) atau evaluasi terha‐
dap kejadian maupun objek sebagai
pengaruh yang signifikan terhadap
perhatian, tujuan, atau sikap dalam cara
positif atau negatif. Selanjutnya akan
timbul reaksi emosi yang meliputi
perubahan dalam pikiran, perilaku,
fisiologis, dan ekspresi. Reaksi tersebut
dapat mempengaruhi kesiapan untuk
berpikir dan berperilaku dalam cara
tertentu yang berfungsi juga sebagai
pertanda bagi orang lain. Sedangkan
Johnston & Scherer (2000), memandang
emosi sebagai sesuatu yang dibangun
secara filogenetis, dan berupa mekanis‐
me adaptif yang memfasilitasi usaha
organisme untuk beradaptasi dengan
kejadian penting yang mempengaruhi
well‐being‐nya.
Berdasarkan pendapat‐pendapat
tersebut, maka dapat disimpulkan bah‐
wa emosi merupakan sesuatu yang
sifatnya genetis, yang pada umumnya
didahului oleh interpretasi seseorang
akan suatu kejadian atau objek. Dimana interpretasi ini menimbulkan reaksi
emosi berupa perubahan pada pikiran
atau kognisi, perilaku, keadaan fisik, dan
ekspresi. Ekspresi emosi ini berfungsi
untuk mengkomunikasikan informasi
pada orang lain dan membantu individu
untuk beradaptasi pada situasi
lingkungan yang berubah.
Emosi bukanlah sesuatu yang nega‐
tif, sebagaimana telah disinggung sebe‐
lumnya, bahkan emosi dapat dikatakan
sebagai suatu mekanisme adaptif. Adap‐
tif maksudnya adalah bahwa emosi
merupakan mekanisme untuk bertahan
dalam lingkungan yang berubah. Hal ini
berlaku pada semua jenis emosi, tidak
terbatas pada bahagia yang seringkali
disebut sebagai emosi positif. Emosi lain
seperti takut, marah, dan sedih juga
memiliki fungsi adaptif; takut berfungsi
mempersiapkan seseorang untuk
menyelamatkan diri, marah berfungsi
mempersiapkan seseorang untuk mela‐
kukan perlawanan, dan sedih yang men‐
dorong seseorang untuk mencari perlin‐
dungan secara psikologis. Dengan demi‐
kian, sesungguhnya semua emosi memi‐
liki manfaat bagi manusia (Plutchik,
2003).
Emosi dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis. Pada umumnya para ahli
berpendapat akan adanya sejumlah
emosi dasar atau primer, sedangkan
emosi lain di luar emosi dasar tersebut
merupakan hasil percampurannya.
Menurut Ekman (1999), emosi dasar
mengandung tiga hal penting; yaitu
mampu membedakan emosi dari emosi‐emosi yang lain dalam hal yang penting,
mengindikasikan bahwa emosi tersebut
terlibat dalam nilai adaptif dalam
hubungannya dengan tugas hidup
dasar, dan berisikan elemen‐elemen
yang dikombinasikan untuk membentuk
emosi yang lebih kompleks. Berdasarkan
karakteristik tersebut, Ekman (2000)
menyebutkan emosi dasar yang terdiri
dari takut, marah, sedih, bahagia, jijik,
terkejut, dan muak. Pada umumnya ahli‐
ahli lain juga berpendapat bahwa takut,
marah, sedih, bahagia, jijik, dan terkejut
merupakan emosi dasar; meskipun
beberapa ahli menambahkan kategori
emosi lain atau menguranginya
(LaFreniere, 2000). Misalnya Plutchik
(2003) yang menyebutkan takut, marah,
sedih, bahagia, penerimaan, jijik
(disgust), antisipasi, dan terkejut sebagai
emosi dasar.
Hubungan Atara Minat Terhadap Komik Jepang(Manga).
seperti vokal, bahasa tubuh, dan
ekspresi wajah tidak menunjukkan
emosi secara lugas seperti pertanda
verbal. Selain itu pertanda non‐verbal
akan emosi, misalnya ekspresi wajah,
bukanlah sesuatu yang sifatnya ‘satu
ekspresi untuk satu jenis emosi’ (Azar,
2000).
Salah satu pertanda non‐verbal
akan emosi yang banyak diteliti oleh
para ahli adalah ekspresi wajah.
Perbedaan ekspresi wajah karena emosi
terjadi akibat adanya otot‐otot pada
wajah yang secara spontan berkontraksi
saat seseorang mengalami emosi
tertentu (Adolphs, 2002). Russell &
Fernández‐Dols (1997) menyebutkan
bahwa setiap emosi dasar memiliki
karakteristik ekspresi wajah yang
berbeda dan bahwa keadaan emosi
seseorang dapat diketahui dengan
pengukuran pada ekspresi wajahnya.
Pendapat seperti ini pertama kali
dikemukakan Darwin pada tahun
1972/1998 (Keltner dkk. dalam
Davidson, Scherer, & Goldsmith (Eds.),
2003).
Pendapat Darwin ini didukung oleh
pernyataan Ekman & Friesen (1984)
bahwa terdapat ciri spesifik pada wajah
saat seseorang mengalami emosi
terkejut, takut, jijik, marah, gembira, dan
sedih, serta Ekman (2002) yang menam‐
bahkan emosi muak. Menurut Ekman
(1992) (dalam Wierzbicka, 1999), eks‐
presi wajah untuk emosi‐emosi tersebut
memiliki sifat konsisten. Hal ini berarti
bahwa ciri‐ciri spesifik pada wajah
seseorang saat mengalami emosi
terkejut, takut, jijik, marah, gembira, dan sedih, serta muak cenderung tidak
berubah dari waktu ke waktu dan
serupa pada orang yang berbeda.
Ekspresi wajah sebagai sarana
mengungkap emosi seseorang memiliki
berbagai kelebihan, yaitu sulit dipalsu‐
kan sebagaimana pertanda emosi mela‐
lui ekspresi non‐verbal lainnya karena
sifatnya yang spontan (Planalp, 1999).
Selain itu, ekspresi wajah akan emosi
juga memiliki sifat universal. Sebagai‐
mana diungkapkan pertama kali oleh
Darwin (dalam Davidson, Scherer, &
Goldsmith, 2003). Pendapat ini didasar‐
kan pada penelitian sederhana yang
dilakukan Darwin dengan mengirimkan
beberapa foto yang sama ke beberapa
orang di berbagai belahan dunia dan
memintanya memberikan penilaian ten‐
tang ekspresi wajah pada foto tersebut.
Melalui penelitian sederhana ini diper‐
oleh hasil bahwa orang‐orang tersebut
memberikan penilaian yang sama
tentang emosi yang digambarkan dalam
foto tersebut.
Kelebihan‐kelebihan yang dimiliki
ekspresi wajah sebagai pertanda akan
emosi, menunjukkan betapa pentingnya
hal ini dipahami. Berbagai penelitian
dilakukan untuk mengetahui faktor‐
faktor apa saja yang mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam melaku‐
kan rekognisi emosi melalui ekspresi
wajah. Misalnya yang dilakukan oleh
Croker & McDonald (2005) yang
menemukan bahwa seseorang dengan
Traumatic Brain Injury (TBI) secara
signifikan mengalami gangguan dalam
pelabelan dan pemasangan emosi
dengan ekspresi wajah. Faktor lain yang mempengaruhi rekognisi emosi melalui
ekspresi wajah adalah gangguan skizo‐
phrenia (Suslow dkk., 2005; Minoshita
dkk., 2005), gangguan bahasa (Spackman
dkk., 2005), keadaan emosional individu
(Hall, 2006), dan tingkat agresivitas
(Carr & Lutjemeier, 2005).
Penelitian‐penelitian mengenai hal‐
hal yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam melakukan rekognisi
emosi melalui ekspresi wajah di atas
terbatas pada faktor‐faktor internal
individu. Sementara penelitian menge‐
nai hal‐hal eksternal berkaitan dengan
kemampuan rekognisi emosi masih
jarang dilakukan. Padahal penelitian
semacam itu lebih membuka cakrawala
untuk menemukan hal‐hal yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kemam‐
puan seseorang dalam melakukan
rekognisi emosi melalui ekspresi wajah.
Penggunaan ekspresi wajah sebagai
alat pertukaran informasi tentang kea‐
daan emosi seseorang dalam kehidupan
sehari‐hari telah banyak diteliti oleh
berbagai ahli, salah satunya adalah Ekman. Penelitian Ekman ini menghasil‐
kan sekumpulan ciri konstruksi ekspresi
wajah untuk emosi dasar, yaitu terkejut,
takut, jijik, marah, gembira, dan sedih.
Misalnya pada emosi terkejut; ditandai
dengan kening yang mengerut, sehingga
tampak melengkung dan tinggi. Kulit di
bawah alis merentang, kerutan horison‐
tal pada dahi, kelopak mata membuka,
bagian putih mata terlihat di atas iris,
dan terkadang di bawah iris. Rahang
membuka ke bawah, sehingga bibir dan
gigi terpisah, tetapi tidak terdapat
tekanan atau perentangan pada mulut
(Ekman & Friesen, 1984).
Salah satu media yang menyedia‐
kan informasi mengenai ekspresi wajah
mengenai emosi adalah komik. Peneli‐
tian ini sendiri lebih memfokuskan pada
Komik Jepang (manga), karena komik
jenis inilah yang saat ini lebih banyak
beredar di Indonesia (Republika, 21 Juli
2004). Penggambaran ekspresi wajah
yang menunjukkan emosi dalam manga
dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Dua Belas Ekspresi Wajah dalam Komik Gaya Jepang
Diambil dari Jurnal “Cross‐cultural Study of Avatar Expression Interpretations” (Koda &
Ishida, 2005) dalam http://www.ai.soc.i.kyoto‐u.ac.jp/publications/06/koda‐saint2006.pdf.
Berdasarkan contoh ekspresi wajah
akan emosi dalam manga untuk emosi
terkejut dan deskripsi Ekman & Friesen
(1984), maka dapat dilihat adanya
persamaan. Kesamaan tersebut di
antaranya adalah kelopak mata dan
mulut yang membuka, serta alis mata
yang terangkat ke atas. Dalam hal ini
memang ekspresi wajah pada manga
untuk menggambarkan emosi tertentu
lebih sederhana dan mengandung lebih
sedikit detail dibandingkan ekspresi
wajah yang sebenarnya. Namun, tanda‐
tanda dalam manga tersebut dapat
dikatakan merupakan tanda yang pen‐
ting karena melaluinya dapat diberikan
penilaian tentang emosi yang sedang
dialami tokoh tersebut.
Komik pada umumnya memiliki
dua unsur penting, yaitu gambar dan
narasi dalam bentuk teks. Hal ini sesuai
dengan definisi komik oleh Eisner
(1996), yang menyebutkan bahwa komik
adalah susunan berurutan dari seni dan
gelembung dialog yang dicetak secara
umum dalam buku komik. Sedangkan
McCloud (1993) mendefinisikan komik
sebagai gambar yang saling berdekatan
dengan gambar lainnya dalam urutan
yang disengaja, untuk menyampaikan
informasi atau untuk menghasilkan
respon estetik pada pembaca. Definisi
lain oleh Harvey menyebutkan bahwa
komik terdiri dari gambar naratif
dimana kata yang seringkali dituliskan
pada gelembung dialog biasanya
membantu pembentukan makna dari
gambar dan sebaliknya (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Comics, di‐
akses tanggal 13 Desember 2006).
Manga sendiri merupakan komik
yang memiliki ciri‐ciri spesifik yang
membedakannya dengan komik jenis
lainnya (misalnya Komik Eropa).
Karakter manga memiliki ciri khas mata
yang besar (mata wanita lebih besar dari
laki‐laki), hidung dan mulut yang kecil,
serta wajah yang datar. Pada mata
seringkali digambarkan kesan pupil
yang transparan, sorotan, atau pantulan
kecil di sudut mata, di mana hal ini
hanya ada pada karakter yang hidup.
Sedangkan pada karakter yang telah
mati, mata digambarkan gelap (http://
en.wikipedia.org/wiki/Manga, diakses
tanggal 24 September 2006). Karakteristik manga lainnya adalah
adanya gelembung dialog yang eks‐
presif, garis kecepatan (speed lines), kilas
balik kecil (mini flashback), latar belakang
abstrak, dan simbol‐simbol tertentu.
Gelembung dialog yang ekspresif adalah
garis batas pada gelembung pembi‐
caraan atau pemikiran yang berubah
menurut pola atau gaya nada suara dan
mood dialog. Sedangkan garis kecepatan
(speed lines) banyak ditunjukkan pada
urutan kejadian, dimana latar belakang
akan digambar dengan garis berlapis
yang rapi untuk menunjukkan arah
gerakan (http://en.wikipedia.org/wiki/
Manga, diakses tanggal 24 September
2006).
Karakteristik lain dari teknik
penggambaran pada manga adalah pada
latar belakang abstrak. Latar belakang ini berbentuk pola atau motif tertentu
yang digunakan untuk menguatkan
mood dari alur cerita atau menggambar‐
kan keadaan pemikiran tokoh. Karak‐
teristik terakhir yang digunakan pada
manga untuk menggambarkan ekspresi
dari alur cerita adalah simbol. Terdapat
berbagai simbol dalam manga yang
telah dikembangkan bertahun‐tahun dan
menjadi metode umum untuk meng‐
gambarkan emosi, kondisi fisik, dan
mood. Misalnya adalah tetesan keringat
dalam ukuran besar di daerah kepala
untuk mengindikasikan kebingungan,
kegelisahan, dan kelelahan mental
(http://en.wikipedia.org/wiki/Manga,
diakses tanggal 24 September 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka
manga di Indonesia dapat diartikan
sebagai komik yang digambar dengan
gaya Jepang dengan segala ciri khasnya
(mata yang besar, penggunaan simbol,
dan sebagainya). Komik ini dapat
merupakan adaptasi dari komik yang
berasal dari Jepang atau merupakan
karya komikus di luar Jepang yang
menggunakan gaya penggambaran
manga. Manga di Indonesia pada umum‐
nya diterbitkan dalam bentuk buku yang
berisi satu cerita, maupun kumpulan
beberapa cerita pendek atau dalam
bentuk lain seperti film dengan gaya
penggambaran yang sama.
Remaja merupakan subjek yang
digunakan dalam penelitian ini karena
remaja pada umumnya lebih banyak
berinteraksi dengan komik sebagai salah
satu bentuk media massa. Hal ini didasarkan pada pendapat Santrock
(1998) yang menyebutkan bahwa remaja
menghabiskan sepertiga waktu bangun‐
nya bersama media massa. Selanjutnya
disebutkan juga bahwa remaja menggu‐
nakan media cetak lebih daripada anak‐
anak. Membaca surat kabar sering
dimulai pada usia sekitar 11‐12 tahun
dan meningkat 60‐80% pada usia remaja
akhir.
Metode penelitian :
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini 80 siswa kelas
1 dan kelas 2 SMA Negeri 2 Yogyakarta
yang pada umumnya memiliki rentang
usia antara 16‐18 tahun. Berdasarkan
usia kronologis tersebut, Subjek dapat
digolongkan dalam tahap perkem‐
bangan remaja yang diawali pada usia
10‐12 tahun dan berakhir pada usia 18‐
22 tahun (Santrock, 2002).
2. Metode Pengumpulan Data
Data mengenai minat terhadap
manga dikumpulkan dengan menggu‐
nakan Skala Minat terhadap Komik
Jepang (Manga) yang disusun berdasar‐
kan aspek‐aspek minat, sebagai berikut:
a. Afek positif dan kepuasan terhadap
hal yang diminati: ditandai dengan
timbulnya perasaan senang dan puas
yang dirasakan Subjek saat melaku‐
kan kegiatan yang berhubungan
dengan manga, setelahnya, atau bah‐
kan sebelumnya saat kegiatan terse‐
but belum dilakukan, namun telah
direncanakan sebelumnya.
b. Pemilihan aktivitas terhadap hal
yang diminati: ditandai dengan
kecenderungan Subjek untuk lebih
memilih kegiatan yang berhubungan
dengan manga.
c. Dorongan untuk melakukan sesuatu
berhubungan dengan hal yang
diminati: merupakan keinginan
Subjek untuk melakukan kegiatan
berhubungan dengan manga.
d. Kegigihan untuk melakukan hal yang
diminati: ditandai dengan kegigihan
atau besarnya usaha yang dilakukan
Subjek untuk dapat melakukan hal
berhubungan dengan hal yang
diminatinya
e. Prestasi dalam hal yang diminati:
ditandai dengan kemampuan Subjek
yang lebih dalam memahami hal‐hal
yang berhubungan dengan manga.
Skala ini disusun berdasarkan
metode Likert dengan lima alternatif
jawaban dengan penskoran 5 sampai 1
untuk item favourable dan 1 sampai 5
untuk item unfavourable. Terdapat dua
bentuk skala paralel yang digunakan,
masing‐masing skala terdiri dari 35 item.
Data mengenai kemampuan rekog‐
nisi emosi melalui ekspresi wajah
dikumpulkan dengan menggunakan Tes
Kemampuan Rekognisi Emosi melalui
Ekspresi Wajah. Tes ini terdiri dari 55
item berbentuk pilihan ganda dengan
enam alternatif jawaban. Setiap item soal
terdiri dari sebuah gambar ekspresi
wajah dalam manga yang mengekspre‐
sikan emosi tertentu serta pilihan
jawaban berupa enam kategori emosi;
yaitu terkejut, takut, marah bahagia,
sedih, dan muak.
3. Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan
dengan teknik korelasi Product Moment
dari Pearson dengan bantuan program
komputer SPSS 15.0 for Windows
Evaluation Version.
Hasil dan pembahasan :
Berdasarkan analisis deskriptif
yang dilakukan, diketahui bahwa data
minat terhadap manga memiliki mean
empiris 109.20, sedangkan mean hipo‐
tetiknya sebesar 105. Ini berarti rata‐rata
skor Subjek pada alat ukur itu lebih
tinggi dari rata‐rata hipotetiknya dan
mayoritas Subjek memiliki minat
terhadap manga yang tinggi, yaitu
sebanyak 30 Subjek (37,5%). Diketahui
pula bahwa kemampuan rekognisi
emosi melalui ekspresi wajah memiliki
mean empiris sebesar 36.79, sedangkan
mean hipotetiknya sebesar 27.5 dan
mayoritas Subjek memiliki kemampuan rekognisi emosi melalui ekspresi wajah
yang tinggi 72 Subjek (90%).
Setelah dilakukan uji asumsi,
sehingga diketahui bahwa kedua data
memiliki distribusi yang normal dan
hubungan keduanya linear; selanjutnya
dilakukan analisis data dengan teknik
korelasi Product Moment dari Pearson.
Hasil korelasi Product Moment untuk
variabel minat terhadap manga dan
kemampuan rekognisi emosi melalui
ekspresi wajah menunjukkan nilai r =
0.358 dengan p = 0.002 (p < 0.01).
Koefisien determinasi (r2) dari korelasi
tersebut adalah sebesar 0.128.
Hal ini mengindikasikan bahwa
terdapat hubungan positif yang sangat
signifikan antara minat terhadap manga
dengan kemampuan rekognisi emosi
melalui ekspresi wajah. Dengan hasil ini
berarti bahwa hipotesis dalam penelitian
ini dapat diterima.
Hasil ini sesuai dengan pendapat
Matlin (1994) yang mengatakan bahwa
rekognisi pola dipengaruhi oleh faktor
pengalaman, dimana stimulus‐stimulus
yang sering ditemui akan lebih mudah
direkognisi atau dikenali. Hal ini terjadi
karena dengan seringnya berhadapan
dengan stimulus tertentu, maka sese‐
orang akan menjadi terbiasa dan merasa
familiar dengan stimulus tersebut. Dalam
hal ini minat merupakan salah satu hal
yang mempengaruhi familiaritas seseorang secara tidak langsung. Minat
secara langsung akan mempengaruhi
perilaku seseorang, sebagaimana dirangkum dari pendapat beberapa ahli (Anastasi & Urbina, 1997; Strong dalam
Murphy & Davidshofer, 1994; Ormrod,
2003; dan Murphy & Davidshofer, 1994)
bahwa minat menyebabkan timbulnya
afek positif dan kepuasan, sehingga hal
tersebut akan mendorong seseorang
untuk melakukan kegiatan tertentu,
memilih kegiatan berhubungan dengan
objek minat, dan kegigihan dalam
melakukan kegiatan tersebut, sehingga
timbul prestasi dalam hal berhubungan
dengan objek minat.
Dengan demikian, jika seseorang
memiliki minat yang tinggi terhadap
manga, maka orang tersebut akan mera‐
sakan afek positif saat melakukan
kegiatan berhubungan dengan manga,
sehingga akan ada dorongan yang kuat,
pemilihan kegiatan berhubungan
dengan manga dan kegigihan untuk
kegiatan tersebut. Hal ini kemudian
secara langsung akan mempengaruhi
perilaku sehari‐hari Subjek yang lebih
banyak berhubungan dengan manga.
Sehingga dengan adanya minat terhadap
manga, maka seseorang akan menjadi
lebih sering berhadapan dengan
stimulus tersebut dan selanjutnya
menjadi lebih familiar. Familiaritas terhadap manga sendiri merupakan salah satu
bentuk dari prestasi yang ditimbulkan
karena adanya afek positif yang menye‐
babkan adanya dorongan, pemilihan,
dan kegigihan terhadap kegiatan
berhubungan dengan manga.
Remaja sendiri merupakan Subjek
yang memiliki kesempatan untuk
menjadi familiar terhadap ekspresi wajah akan emosi pada manga.
JURNAL 6
Judul : Analisa Perilaku Konsumen Dan Nilai Komik Jepang.
Penulis : Djudiyah.
Link : https://ejournal.umm.ac.id/index.php/industri/article/view/657/680
Kebutuhan konsumen akan mendorong dan mengarahkan individu untuk bertindak. Kondisi semacam ini disebut dengan motivasi. Motivasi digambarkan sebagai dorongan yang sangat kuat dalam diri individu untuk bertindak. Dorongan yang sangat kuat ini muncul karena adanya kondisi ketegangan (tension) yang ada sebagai hasil karena kebutuhan yang tidak terpenuhi. Individu baik secara sadar maupun tidak sadar akan mengurangi tensionmelalui perilaku yang mereka antisipasi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga terbebas dari perasaan tertekan (Schiffman dan Kanuk, 2000). Solomon (1996) menyatakan bahwa motivasi menunjuk pada proses yang menyebabkan orang bertindak sebagaimana yang telah dilakukan. Hal ini terjadi ketika kebutuhan muncul karena konsumen ingin memperoleh kepuasan. Sekali kebutuhan aktif, keadaan tension akan muncul yang mendorong konsumen untuk berusaha meng urangi atau mengeleminir kebutuhan. Pemasar berusaha untuk menciptakan produk dan jasa yang dapat memenuhi keinginan konsumen yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan untuk meng urangi tension.Menur ut Maslow (da la m Schiffma n da nSchiffma n da nKanuk, 2000) ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu, kebutuhan f isik (physiological needs), kebutuhan rasa aman (safety needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan egoistik (egoistic or esteem needs) serta kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualization) dalam membeli produk atau jasa. Ada kalanya konsumen membeli produk atau jasa didorong oleh kebutuhan fisik. Misalnya: orang merasa haus maka ia akan membeli Aqua. Adakalanya konsumen menabung uangnya di bank karena ingin memperoleh rasa aman dari pencuri. Adakalanya konsumen memilih baju model yang sedang tren karena takut dianggap kuno oleh teman-temannya. Ada kalanya konsumen membeli produk tertentu karena ingin mendapatkan penghargaan dari orang lain serta adakalanya konsumen membeli buku untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, dan lain-lain. Oleh karena itu, produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan konsumenlah yang akan laku dipasaran, dapat membuat konsumen puas dan akan loyal terhadap produk atau jasa. Nilai atau value juga merupakan aspek penting yang dapat membuat konsumen puas serta loyal atau setia terhadap produk atau jasa. Nilai atau valuediartikan sebagai selisih antara nilai pelanggan total dan biaya pelanggan total. Nilai pelanggan total merupakan sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Biaya total pelanggan adalah sekumpulan biaya yang diharapkan oleh konsumen yang dikeluarkan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa (Kotler, 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk atau jasa yang memberikan nilai lebih akan membuat konsumen puas dan dapat membuat konsumen loyal terhadap produk atau jasa. Salah satu alasanSalah satu alasan mengapa komik menjadi populer akhir-akhir ini adalah karena pengaruh TV (Johannsson dan ( Johannsson danJohannsson dan Nonka, 1998). TV dianggap sebagai media gambar, 1998). TV dianggap sebagai media gambar 1998). TV dianggap sebagai media gambar yang utama (Schiffman dan Kanuk, 2000) yang ( Schiffman dan Kanuk, 2000) yangSchiffman dan Kanuk, 2000) yang, 2000) yang 2000) yang yang dapat berpengaruh pada perilaku konsumen. Acara-. Acara- Acara-acara TV banyak menayangkan film-film kartun yang banyak digemari anak-anak maupun remaja, Misalnya Shinchan, Samurai X dan Spongebob. Cerita yang ada di film-film kartun ini juga banyak kesamaan atau kemiripan dengan cerita-cerita yang ada di komik, khususnya komik Jepang sehingga anak-anak juga suka membaca komik Jepang. Menurut Polay, et al. (1996) ada beberapa alasan mengapa sensitivitas advertensi lebih berpengaruh pada anak-anak muda bila dibandingkan dengan orang dewasa, salah satu alasan tersebut adalah pembentukan identitas dan perhatian advertensi pada remaja adalah untuk membentuk identitas diri, yang menyebabkan remaja yang berumur belasan memperhatikan pengaruh advertensi dan peergroupnya terhadap cue yang berhubungan dengan simbol-simbol kedewasaan dan penerimaan orang lain. Remaja belasan juga lebih mampu menerima image yang romantis, sukses, mengag umkan, popular dan adventurir, dimana hal ini akan dicapai dengan cara mengkonsumsi rokok. Ditambahkan oleh Loudon dan Bitta bahwa remaja belasan, banyak mengalami ketidak menentuan dan menyebabkan mereka ingin untuk menemukan indentitas dirinya. Mereka akan aktif mencari cue dari peernya dan dari advertensi sebelum mereka berperilaku. Mereka menjadi tertarik pada bermacam-macam produk yang dapat mengekspresikan kebutuhan mereka untuk eksperimen, belonging, independent, bertanggung jawab dan disukai orang lain (Solomon, 1999).
Editor komik PT. Indira Publishing yang mengungkapkan bahwa kehadiran komik-komik Jepang seperti: Doraemon, Kungfu Boy ataupun Sailor Moon ternyata mampu mengalihkan perhatian anak-anak dari komik asing lain seperti Tin-tin atau Lucky Luke (Republika, 24 Agustus, 1997). Anak-anak menjadi lebih menyukai komik Jepang dari pada komik-komik asing lainnya. Demikian besar konsumen komik Jepang ini, sehingga sebuah majalah anak-anak yang cukup populerpun harus memuat komik Jepang agar laku (Kompas, 5 Pebruari 1998). Komik Jepang pada akhirnya merajalela. Setiap hari selalu ada saja pengunjung yang menekuni rak-rak komik di toko Buku Gramedia Malang yang nyaris semua berasal dari Jepang. Sementara banyak anak dan remaja lain yang dengan setia pergi ke perpustakaan atau taman-taman bacaan terdekat untuk membaca komik Jepang tersebut. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia, menurut Koh (1999) remaja belasan di bangkok, Singapore, dan negara-negara lain banyak mengkoleksi komik Jepang. Kenyataan ini menimbulkan pentanyaan, mengapa anak-anak dan remaja sangat menyukai komik Jepang bila dibandingkan dengan komik yang berasal dari Eropa, Amerika maupun dari Indonesia sendiri(lokal).
Metode penelitian :
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui motivasi serta nilai (value) lebih yang dipersepsikan dan dirasakan oleh remaja ketika mereka menyewa, membaca, membeli ataupun mengkoleksi komik Jepang. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SLTP yang menjadi pelanggan persewaan komik ”Tumapel Agency” di Singosari Malang. Sampel penelitian ini berjumlah 35 orang yang diambil dengan teknik Incidental Sampling. Metode pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 35 siswa SLTP yang menjadi responden dalam penelitian ini, ada 24 siswa (68%) yang mengkonsumsi komik Jepang untuk memenuhi kebutuhan sosial (social need), ada 8 siswa (23%) untuk memenuhi kebutuhan egoistik atau esteem need, ada 2 siswa (6%) untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri serta ada 1 siswa (3%) untuk memenuhi kebutuhan rasa aman (safety need).
Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa ada 15 siswa (43%) yang mengatakan bahwa gambar maupun bahasa yang disajikan mudah dicerna atau pahami, ada 8 siswa (23%) yang beranggapan bahwa topik yang ditawarkan lebih bervariasi, topik yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan dongeng ataupun cerita yang ada di Indonesia, topik yang ditawarkan sesuai dengan perkembangan jiwa segment pasarnya, topik yang ditawarkan tidak ada muatan politis. Ada 6 siswa (17%) menyatakan bahwa cerita yang ditawarkan lebih realistis atau menyentuh kehidupan sehari hari serta ada 6 siswa (17%) siswa yang mengatakan bahwa harga beli maupun ongkos pinjam maupu harga beli di toko buku lebih murah komik Jepang di banding dengan komik dari Amerika.
Hasil dan pembahasan :
Hasil analisis data menemukan bahwa motivasi siswa mengkonsumsi komik Jepang adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial (social needs). Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan remaja adalah mampu menjalin hubungan interpersonal dengan orang-orang disekitarnya. Hubungan interpersonal ini merupakan sarana bagi remaja untuk menemukan jati diri atau identitas diri remaja (Hurlock, 1992). Komik dapat dijadikan topik pembicaraan yang sangat menarik bagi remaja, apalagi jika remaja memiliki kesamaan topik komik yang dibacanya. Hal ini akan membuat hubungan interpersonal diantara mereka akan semakin erat karena memiliki kesukaan yang sama (Feldman, 1999).Penelitian ini juga menemukan bahwa remaja mengkonsumsi komik Jepang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan penghargaan dari teman-temannya. Remaja akan berlomba-lomba untuk menemukan topik-topik komik yang terbaru dan berusaha membacanya. Mereka akan merasa bangga ketika menemukan topik bacaan yang teman-temannya belum pernah membacanya. Temuan ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan Suprawanti (1999) bahwa siswa yang suka membaca komik Jepang ternyata memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dibanding dengan siswa yang tidak suka membaca komik Jepang.Hasil analisis data juga menemukan bahwa gambar maupun bahasa yang ada pada komik Jepang lebih mudah dipahami atau di cerna dibanding komik yang berasal dari Amerika. Hal ini sesuai dengan perkembangan kognitif anak-anak yang sedang pada masa transisi dari konkrit operasional ke formal operasional (Feldman, 1999). Pada masa ini anak-anak sudah mampu berfikir secara abstrak, formal dan logis. Pada saat ini anak mulai berfikir tanpa mengobservasi lingkungan dalam waktu lama namun masih menggunakan teknik-teknik yang logis dalam penyelesaian masalah. Hasil penelitian juga menemukan bahwa topik cerita yang ada pada komik Jepang sangat bervariasi. Misalnya: tentang olah raga, percintaan, persahabatan, dan lain lain. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Izawa (1998) bahwa aspek cerita pada aspek cerita pada komik barat terlihat jauh dari realitas kehidupan seha ri-ha ri. Komik Ba rat cender ung ha nya menyentuh sedikit realitas nyata proporsi terbanyak lebih pada cerita-cerita fantasi. Sedangkan komik Jepang cenderung menggabungkan antara cerita fantasi dengan realitas kehidupan sehari-hari seperti orang biasa, mereka pergi kesekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, dimarahi orang tua, tetapi mereka juga memiliki kehidupan lain yang membuat mereka berbeda dengan orang biasa, entah karena bakat yang luar biasa atau karena memiliki teman yang aneh. Malahan ada juga komik Jepang dengan cerita yang sangat nyata, yang menggambarkan kehidupan sehari-hari seorang remaja. Misalnya: jatuh cinta, ujian, sekolah persahabatan, dan lain sebagainya.Penelitian ini juga menemukan bahwa cerita yang dimuat di komik Jepang hampir sama dengan dongeng atau cerita yang ada di Indonesia. Misalnya ada tokoh-tokoh jahat (Bawang Merah, Malinkundang, dan lain-lain), ada tokoh-tokoh yang baik (bawang putih, cinderela, dan lain-lain). Hal ini sesuai dengan paparan Izawa (1998) bahwatokoh pada komik-komik Barat seringkali memilikiokoh pada komik-komik Barat seringkali memiliki karakter yang terpilah menjadi dua, yaitu tokoh antagonis yang digambarkan begitu jahat dan tokoh protagonis yang sebaliknya dilukiskan sangat baik dan hebat. Sedangkan pada komik-komik Jepang, karakter tokoh-tokohnya tidak begitu saja terbagi menjadi hitam dan putih. Seringkali digambarkan sang lakon melakukan kesalahan yang tak mungkin terjadi pada tokoh utama komik Barat, dan sang musuh memiliki alasan-alasan kejahatannya yang bisa membuat pembaca bersimpati. Tokoh antagonis pada komik Jepang ditunjukkan tidak begitu saja jahat atau gila tetapi tokoh-tokoh ini juga memiliki harapan dan mimpinya sendiri.Hal ini berarti bahwa nilai (value) budaya Jepang memiliki beberapa kesamaan dengan budaya Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Schiffman & Kanuk (2000) bahwa kebudayaan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada perilaku konsumen. Nilai-nilai budaya konsumen yang sama dengan sesuatu yang ada produk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi konsumen dalam proses keputusan membeli sesuatu.Cerita yang ada pada komik Jepang sesuai dengan perkembangan jiwa anak remaja serta menyentuh kehidupan sehari- hari, misalnya: tentang percintaan, persahabatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock(1992) yang menyatakan bahwa saat memasuki masa remaja, anak akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat ini sangat berpengaruh pada atensi maupun minat terhadap produk yang mereka konsumsi.Menurut Hurlock (1992) salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya. Penerimaan diri sendiri maupun penerimaan atau dukungan sosial terutama geng merupakan sesuatu yang penting dalam kebahagiaan remaja.Monks, Knoers dan Haditono (2000) menyatakan bahwa remaja akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok dari pada mengembangkan pola norma sendiri. Moral kelompok tadi dapat berbeda sekali dengan moral yang dibawa remaja dari keluarga yang sudah lebih dihayatinya karena sudah sejak keil diajarkan oleh orang tua. Sementara itu Riesman dan de hass (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2000) menyatakan bahwa orang menilai konformisme kelompok ini positif sebagai bantuan menemukan identitas diri.Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa harga sewa maupun harga beli komik Jepang ternyata lebih murah dibanding dengan komik Amerika. Hal ini di dukung oleh pendapatnya Schiffman & Kanuk (2000) yang menyatakan bahwa konsumen adakalanya memiliki motivasi yang sifatnya rasional saat membeli sesuatu dimana salah satunya dengan mempertimbangkan atau membandingkan antara harga dengan sesuatu yang hendak didapatkannya.
JURNAL 7
Judul : Pemanfaatan Webtoon Sebagai Media Adaptasi dari Komik Cetak.
Penulis : Ratu Su'ud Hanum dan Firman Kurniawan.
Link : https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/coverage/article/view/5327/25 57
Webtoon adalah gabungan dari kata web dan cartoon, diartikan sebagai komik daring yang merupakan hasil adaptasi dari komik analog berbentuk cetak menjadi komik digital, disajikan dalam layout vertikal yang telah dioptimasi untuk layar komputer dan telepon seluler. Dalam bentuk digital pun webtoon masih diidentikkan dengan istilah manga(komik jepang) atau manhwa(komik korea). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan webtoon sebagai media adaptasi dari komik cetak, menganalisis efek webtoon sebagai Gelombang Korea terhadap masyarakat, dan mengetahui fenomena yang tercipta di Indonesia seiring perkembangan industri webtoon. Metode penelitian ini adalah Systematic Qualitative Literature Reviewdan dianalisis berdasarkan PRISMA(Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses).Pada penelitian ini ditemukan hasil bahwa posisi webtoon sebagai industri serta pemanfaatannya dibuktikan cukup efektif dan menjanjikan pada berbagai bidang. Dimulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan model bisnis yang baru dan inovatif menjadikan webtoon sebagai contoh sukses dari peralihan analog ke digital, termasuk di Indonesia.
Metode penelitian :
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (Moleong, 2004),metodologi kualitatif adalah teknik penelitian deskriptif yang menghasilkan data deskriptif berupa pengetahu-an dan perilaku yang diamati. Metode yang di-gunakan adalah Systematic Qualitative Literature Review. Beberapa sumber data dipilih untuk me-lakukan proses pencarian melalui Sage Journals, Science Direct, Scopus, dan Taylor & Francis. Scopus dipilih sebagai sumber utama karena me-rupakan sumber terlengkap hingga 71 juta data yang dimiliki. Sedangkan Sage Journals, Science Direct, dan Taylor & Francis digunakan sebagai sumber sekunder. Pencarian literatur dilakukan berdasarkan PRISMA(Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses), yang mencakup identification, screening, eligibility, dan inclusion. Kriteria dan indikator data yang digunakan akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
Pada proses pertama yaitu Identification, dilakukan pencarian jurnal melalui beberapa sumber yang tercantum di Library Universitas Indonesia. Pencarian jurnal dilakukan dengan beberapa kata kunci yang berkaitan erat dengan Webtoon, beberapa di antaranya seperti manhwa yang merupakan istilah umum yang digunakan untuk mengidentifikasi komik dari korea, serta manga yang merupakan istilah yang berarti komik jepang. Pada tahap ini, diperoleh 40 hasil pada Scopus melalui penyaringan kata kunci “webtoon” dan “manhwa” yang berada di judul, abstrak, dan keyword. Pada Sage Journals, diperoleh 31 hasil dengan penyaringan keywordyang menggunakan kata “webtoon”, “manhwa”, dan “manga”, sedangkan pada Science Direct diperoleh 196 hasil dengan penyaringan Abstrak dan Judul yang menggunakan “webtoon”, “manhwa” dan “manga”, kemudian pada Taylor & Francis di dapatkan 231 hasil menggunakan keyword “webtoon”, “manhwa”, dan “manga”. Melalui proses Screening, ditetapkan kriteria yang harus dipenuhi agar jurnal digunakan sebagai data. Kriteria-kriteria tersebut adalah: (a) Jurnal harus berbahasa Inggris dan Indonesia, serta diterbitkan secara internasional;(b) Meng-gunakan webtoonsebagai konsep utama dalam penelitian teknologi komunikasi;(c) Dipublikasi pada 2017-2023, ketika webtoonbesutan Naver mulai mendunia;(d) Tipe dokumen berbentuk jurnal artikel;dan (e) Area subjek ialah dari ranah ilmu sosial.
Eligibility merupakan proses ketiga di mana jurnal-jurnal dari hasil proses screening ditelaah secara manual dengan membaca abstrak dari setiap penelitian. Pada tahap ini, fokus utama adalah mencari jurnal terkait pemanfaatan webtoon dalam berbagai bidang serta bagaima-na keadaan industri tersebut di Indonesia. Topik selain webtoon atau artikel jurnal yang tidak terkait webtoontidak akan dimasukkan ke dalam data penelitian. Dari proses ini, ditemukan total 12 artikel jurnal yang memenuhi kriteria dan dapat digunakan sebagai data penelitian. Pada proses Inclusion, dilakukan pencarian jurnal di Google Scholar untuk menemukan artikel jurnal yang tidak terdaftar pada ketiga sumber data yang terpilih. Pada pencarian ini, ditemukan tujuhjurnal tambahan yang memenuhi kriteria dan akan dimasukkan sebagai data.
Hasil dan pembahasan :
Sebagai media teknologi komunikasi yang memiliki riwayat perkembangan cukup pesat pada abad-21, penggunaan webtoon dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Tidak sesederhana menyajikan hiburan visual dengan cerita menarik, namun dapat dimanfaatkan untuk mengemas nilai-nilai yang ingin disampaikan dengan lebih efektif, sehingga memengaruhi model bisnis dalam industri webtoon. Walaupun merupakan media baru dan belum banyak peminatnya, namun sudah terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan webtoon dalam berbagai bidang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dari keseluruhan jurnal yang dikaji, Sebanyak delapan jurnal (42%) meneliti bagaimana kelayakan dari pemanfaatan webtoonsebagai media teknologi komunikasi untuk pendidikan atau edukasi. Sebanyak lima jurnal (26%) berfo-kus pada bagaimana webtoon dimanfaatkan untuk memperkenalkan kebudayaan digital serta fenomena-fenomena baru. Empat jurnal (21%) memiliki tema yang serupa, namun lebih berfo-kus pada bagaimana transisi media menjadi digi-tal dimanfaatkan secara efektif pada webtoon. Sedangkan sebanyak dua jurnal (11%) meneliti mengenai pemanfaatan webtoon sebagai media periklanan digital.
- Pemanfaatan Webtoon Banyak Digunakan dalam Bidang Edukasi
Melalui kajian yang telah dilakukan, dapat dite-mukan bahwa webtoon dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, salah satu bidang yang paling banyak memanfaatkan webtoonialah bidang pendidikan atau edukasi. Sudah dibuktikan melalui berbagai penelitian bahwa webtoon adalah media yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dan media edukasi, sehingga kontribusinya dalam dunia pendidikan dan edukasi saat ini cukup besar. Di Indonesia sendiri terdapat sedikitnya limajurnal yang membahas pemanfaatan webtoon sebagai media edukasi dan seluruhnya memberikan hasil positif. Beberapa di antaranya menjelaskan dengan detail terkait pengaruh webtoon sebagai media untuk meningkatkan pemahaman bacaan, membangun pemikiran kritis, meningkatkan kreativitas, dan mengembangkan motivasi membaca (Syahid& Khoirotunnisa, 2021; Erya & Pustika, 2021). Web-toonsebagai media teknologi komunikasi juga dibuktikan pantas sebagai media belajar di SMP (Alfianiet al., 2018) dan menanamkan sikap positif berupa toleransi terhadap siswa SD, sehingga dalam tingkat anak sekolah, pemanfaatan webtooncukup efektif sebagai media pembelajaran.
- Pemanfaatan Webtoon Sebagai Katalis Penyebaran Budaya
Dalam peralihannya menuju era digital, pemanfaatan webtoon menciptakan fenomena-fenomena unik yang sebelumnya tidak ditemukan pada media komik cetak. Salah satu fenomena yang cukup menarik adalah fenomena transkreasi, di mana para pembaca dapat dengan bebas membuat ulang suatu karya dengan penerjemahan dan penafsiran masing-masing, dan karya terse-but dapat dirilis pada platform resmi, termasuk platfrom dimana karya aslinya dimuat. Sebuah penelitian yang menganalisis fenomena ini menemukan bahwa gagasan partisipasi aktif dari fans sebuah komik dapat tersebar dengan luas dan mudah di industri webtoon.
Penelitian ini menunjukkan bahwa transkreasi yang terjadi dalam industri ini mengindikasikan bahwa para fansatau pembaca ingin mengekspresikan antusiasme terhadap karya webtoon tersebut, serta ingin memfasilitasi sosialisasi, dan menciptakan rasa kepemilikan terhadap komunitas transkreasi. Melalui fenomena ini, para fans mengaku bahwa mereka dapat meningkatkan keahlian berbahasa mereka dengan harapan memperoleh keuntungan terkait karir. Melalui proses transkreasi, para fans berandil penting dalam globalisasi webtoon sebagai media teknologi komunikasi (Nam & Jung, 2022).Telah terbukti juga bahwa webtoon yang diterjemahkan ke bahasa yang dimengerti pembacanya meningkatkan ketertarikan terhadap webtoon tersebut (Rohan et al., 2021)
- Bagaimana Pengiklan Memanfaatkan Webtoon sebagai Media Baca Baru
Jika komik cetak mengandalkan penjualan dan royalti sebagai pemasukan, webtoon menawarkan strategi yang berbeda, yaitu periklanan. Bentuk digital dari komik membuatnya dapat diakses dengan lebih mudah, sehingga tersebar dengan luas dan memiliki pasar yang semakin besar. Hal ini menyebabkan model bisnis baru dalam dunia komik, yaitu periklanan digital. Beberapa penelitian juga telah dilakukan terkait pemanfaatan webtoon sebagai media periklanan. Penelitian yang dilakukan oleh Jong Yoon Lee, Jae Hee Park, dan Jong Woo Jun (2019) menggunakan survei mencari tahu tentang faktor yang memengaruhi sikap konsumen dan intensi electronic word-of-mouth(eWOM) terhadap merek webtoondi Korea. Penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan secara berurut dari merek webtoonterhadap emosi pembaca (paling tinggi), transportasi, pengetahuan persuasi, serta kepercayaan periklanan (paling rendah). Dijelaskan lebih lanjut bahwa emosi pembaca yang berupa kesan dan kesenangan terhadap merek webtoonmempengaruhi sikap dan intensi eWOM, sedangkan kepercayaan periklanan memberikan efek terhadap sikap dan intensi perilaku. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa emosi pembaca pertama kali terpicu ketika mereka terpapar merek webtoon berdasarkan cerita bencana alam. Setelah itu, konsumen dikabarkan memiliki pengalaman empati yang terkait dengan transportasi dalam penelitian ini. Selama pengalaman emosional, mereka menjadi kurang peka terhadap stimulus persuasif. Pada akhirnya, mereka dilaporkan memiliki keyakinan positif tentang pesan tersebut. Model tingkatan ini menjelaskan langkah-langkah yang dimiliki konsumen periklanan untuk pemrosesan infor-masi merek webtoon(Lee et al., 2019). Webtoon kini banyak dimanfaatkan untuk mencari pemasukan melalui kontennya dalam bentuk iklan teks dan tampilan (Jin & Feenberg, 2015). Banyaknya protes terhadap rendahnya pemasukan webtoonist, Naver Corporation selaku perilis aplikasi webtoon bereksperimen sebuah bentuk periklanan yang baru, yaitu Page Profit Share(PPS), berupa iklan visual menggunakan gambar dan karakter dari webtoon untuk mempromosikan sebuah produk. Iklan jenis ini biasanya ditampilkan di tengah atau di akhir cerita. Ditemukan artikel berupa jurnal yang merupakan bentuk protes terhadap iklan tembakau dalam webtoon. Ketatnya regulasi tembakau di Korea menciptakan atmosfir antitembakau di negara tersebut, sehingga industri tembakau mencari cara baru untuk memasarkan produknya (Kim & Lee, 2017). Berkat perkembangannya yang melesat, webtoonmenjadi strategi baru industri tembakau untuk melancarkan iklannya, di mana produk tersebut digambarkan secara mendetail dalam situasi karakter webtoonyang mengguna-kannya secara umum, bahkan di lokasi non-smoking. Sebagai media baru, webtoonbelum memiliki regulasi seperti batasan umur terhadap konten tertentu, sehingga industri-industri yang kurang pantas seperti industri tembakau memiliki kebebasan untuk memasarkan produknya di webtoon. Hal ini menjadi sebuah tamparan dan harapan agar diadakannya peraturan yang lebih baku terhadap isi konten di webtoon(Kim & Lee, 2017).
JURNAL 8
Judul : Tinjauan Buku Anime, Cool Japan, Dan Globalisasi Budaya Populer Jepang.
Penulis : Masao Yokota dan Tze-yue G. Hu (ed).
Link : https://core.ac.uk/download/pdf/235985649.pdf
Tanggal 10 Desember 2014 mungkin
menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi sebagian
masyarakat Indonesia penggemar Doraemon,
serial animasi populer asal Jepang tentang
robot kucing dari abad ke-21. Pada hari itu,
diluncurkan film terakhir Doraemon bertajuk
“Doraemon: Stand by Me” (STAND BY ME ド
ラえもん). Banyak fans dari berbagai kelompok
usia, terutama kalangan menengah, dengan
antusias pergi ke salah satu jaringan bioskop
ternama untuk menyaksikan pemutaran perdana
film animasi ini. Tiket pra jualnya pun telah habis
terjual enam hari sebelum hari-H pemutaran.
Tingginya antusiasme para penggemar Doraemon
ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan
juga di 56 negara tempat film ini diputar. Hal ini
menandakan bahwa Doraemon telah berhasil
meraih dan mempertahankan popularitasnya di
banyak negara.
Doraemon hanyalah satu dari sekian
banyak anime Jepang yang populer di seluruh
dunia. Sebagai salah satu bentuk budaya populer
Jepang yang telah banyak dikenal masyarakat
dunia, khususnya para penggemar budaya populer
Jepang, anime (アニメ; Japanese animation) kini
memang tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah
karya seni dan media hiburan semata, namun
juga sebagai sebuah fenomena global. Di Jepang
sendiri, anime merujuk pada semua semua jenis film animasi tanpa mengindahkan dari negara
mana animasi tersebut berasal. Namun di luar
Jepang, kata anime lebih sering diasosiasikan
secara spesifik dengan ‘animasi Jepang’. Dalam
artikel ini, definisi anime yang digunakan adalah
definisi yang kedua.
Berbicara anime sebagai fenomena global,
tidak pernah terlepas dari konsep Gross National
Cool (GNC) yang diperkenalkan McGray (2002)
dan juga konsep soft power-nya Joseph S. Nye
(2004). Dalam artikelnya, McGray (2002)
berargumen bahwa Jepang tidak lagi relevan
disebut sebagai negara super-power dalam
konteks Gross National Product (GNP), seperti
Jepang era tahun 1980-an. Ia menilai Jepang
lebih cocok disebut sebagai negara culturalsuper-power dalam konteks Gross National Cool
(GNC). Meminjam istilah Joseph S. Nye (2004),
Jepang bisa dikatakan sebagai negara superpower dalam konteks soft-power karena ia dinilai
memiliki kekuatan untuk me-attract orang dari
negara lain melalui budaya, nilai-nilai, maupun
kemampuan diplomasinya, termasuk diplomasi
anime. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bila pada tahun 2008, MOFA (Kementerian
Luar Negeri Jepang) “menunjuk” karakter
Doraemon sebagai Duta Anime seiring dengan
diberlakukannya kebijakan diplomasi soft-power
Jepang melalui budaya populer, yang nantinya
berkembang menjadi kebijakan “Cool Japan” yang oleh banyak pihak dinilai kontroversial.
Namun demikian, dengan segala kontroversinya,
anime telah menarik perhatian banyak akademisi
maupun praktisi untuk mengamatinya sebagai
suatu fenomena global.
- Anime dan Penelitian Ilmiah di Jepang.
Anime yang saat ini telah menjadi komoditas
internasional, semakin menarik perhatian banyak
akademisi maupun praktisi dari berbagai bidang
maupun negara. MacWilliams (2011: 5) menyebut
dua urgensi penelitian mengenai anime. Pertama,
anime merupakan bagian kunci dalam budaya
visual populer di Jepang. Di tengah besarnya peran
media massa (masu-komi) dalam masyarakat
Jepang, anime dan juga manga (komik Jepang)
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat Jepang yang sangat
visual. Kedua, anime berperan penting dalam
pembentukan mediascape global, baik cetak
maupun elektronik. Sontag (2003) sebagaimana
dikutip dalam McWilliams (2011, 3) menyebut
Jepang sebagai “image world” dimana media massa Jepang yang sangat visual dikonsumsi
oleh tidak hanya masyarakat Jepang sendiri,
namun juga kini oleh masyarakat global. Namun
demikian, seperti yang diungkapkan dalam buku
ini, masih terdapat beberapa kendala yang kerap
ditemui dalam penelitian anime, seperti misalnya
keterbatasan akses terhadap sumber data dan
masalah perbedaan sudut pandang.
Sebagian besar publikasi dan sumbersumber primer tentang anime pada awalnya,
hanya tersedia dalam bahasa Jepang, termasuk
yang dipublikasikan di jurnal anime terbitan
Asosiasi Studi Anime di Jepang, Japanese Journal
of Animation Studies. Hal ini menyebabkan para
peneliti anime non-penutur Bahasa Jepang merasa
kesulitan. Di samping bahasa sumber, masalah
perbedaannya sudut pandang juga merupakan
tantangan yang dihadapi oleh para peneliti anime
yang sebagian besar berasal dari latar belakang
pendidikan yang spesifik, misalnya kajian film
dan media, kajian budaya, ilmu komunikasi,
dan sebagainya, yang notabene kurang memiliki
pengetahuan tentang konteks sosial budaya Jepang
(Hu, 2013, 4-6). Berangkat dari permasalahan
tersebut, buku ini diterbitkan sebagai media
publikasi hasil-hasil penelitian mengenai anime
yang berangkat dari sudut pandang akademisi
maupun praktisi yang langsung diterjemahkan
dari bahasa sumber ke dalam bahasa Inggris,
supaya dapat menjangkau pembaca yang lebih
luas.
Perkembangan studi anime di Jepang
ini tidak terlepas dari kehadiran Japan Society
for Animation Studies (JSAS, Nihon Animeshon Gakkai). Awalnya, anime di Jepang tidak
pernah dikaitkan dengan sesuatu yang ilmiah.
Seringkali ia hanya dipandang sebagai sebuah
karya seni yang tidak bisa diberi label ‘ilmiah’,
meskipun pada masa itu, tidak sedikit anime
yang dimanfaatkan sebagai rujukan primer
maupun sekunder dalam penelitian-penelitian
ilmiah (Koide, 2013, 58). Namun demikian,
seiring dengan meningkatnya jumlah penelitian
mengenai anime, sejumlah peneliti dan praktisi
media seperti Koide Masashi dan Ikeda Hiroshi, mulai tergerak untuk mendirikan apa yang kini
dikenal sebagai JSAS pada bulan Juli tahun 1998.
Kehadiran JSAS ini juga diikuti oleh penerbitan
Japanese Journal of Animation Studies pada
bulan Oktober di tahun yang sama. Memasuki
tahun 2000-an, mulai dibuka departemen dan
program studi khusus animasi di lingkungan
pendidikan tinggi di Jepang, antara lain di Tokyo
Polytechnic University, Tokyo Zokei University,
Kyoto Seika University, dan Tokyo University
of the Arts. Menariknya, Ketua JSAS saat itu
bahkan diminta rekomendasinya sebagai syarat
perizinan pembukaan program studi animasi ke
MEXT (Kementerian Dikbud, Olahraga, dan
IPTEK Jepang).
- Perkembangan Anime di Asia Timur.
Beberapa isu menarik dalam buku ini
antara lain mengenai perkembangan anime dalam
konteks historis transnasional dengan negaranegara tetangga Jepang, pengaruh apa yang anime
berikan kepada mereka, serta konteks politik di
balik produksi dan konsumsi anime di kawasan
tersebut (Hu, 2013, 14). Buku ini dibuka dengan
deskripsi sejarah perkembangan anime di Jepang,
yang berakar dari perkembangan manga (Tsugata,
2013, 25-30). Di tengah masyarakat Jepang
yang sangat menjunjung tinggi konformitas di
hadapan orang lain (建前、tatemae), dan juga di tengah masa krisis akibat gejolak perang
dunia II, manga saat itu menjadi media ekspresi
terbaik bagi banyak seniman Jepang saat itu untuk
mencurahkan pemikirannya dalam bentuk story
manga yang kemudian banyak diadaptasi ke
dalam bentuk anime. Anime diproduksi pertama
kali pada tahun 1917, namun masih sebatas
film animasi pendek berdurasi dua hingga lima
menit yang sebagian besar bercerita tentang folk
tales masa itu. Anime terus berkembang dengan
dipengaruhi oleh konteks sosial politik pada
masanya. Berbagai anime diproduksi, mulai
dari anime bertema propaganda perang seperti
Momotaro no Umiwashi (Momotaro’s Sea Eagle)
yang menggelorakan semangat perang yang
mengambil latar waktu saat Jepang menyerang
Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941
(Watanabe, 2013, 104), hingga anime yang
merefleksikan harapan akan kebangkitan sains
dan teknologi pascaperang, Tetsuwan Atomu (
鉄腕アトム、atau yang lebih dikenal di dunia
internasional dengan sebutan “Astro Boy”).
Anime Astro Boy ini menjadi serial TV anime
pertama di Jepang yang disiarkan pada tahun
1963-1966, serta merupakan salah satu anime
paling penting dalam studi perkembangan
anime di Jepang dan sekitarnya. Oleh karena itu,
beberapa artikel dalam buku ini menjadikan anime
ini sebagai objek kajian.
- Dari Anime ke Cool Japan.
Masalah globalisasi anime yang sebetulnya
telah dimulai sejak tahun 1960-an ini, juga
menarik dibahas dalam konteks kekinian. Namun,
konteks kekinian inilah yang belum dibahas
secara khusus dalam buku ini. Buku ini diterbitkan
tahun 2013, saat Pemerintah Jepang tengah
gencar-gencarnya mengaktualisasikan kebijakan
Cool Japan yang telah diimplementasikan secara luas oleh MOFA (Kementerian Luar Negeri
Jepang) sejak tahun 2007, sebelum diambil alih
oleh METI (Kementerian Ekonomi, Perdagangan,
dan Perindustrian Jepang) pada tahun 2011. Buku
ini akan semakin mempunyai nilai lebih jika ada
bagian khusus yang menganalisis globalisasi
anime dalam kerangka Cool Japan yang saat buku
ini diterbitkan sebenarnya sudah berjalan.
METI (2015a) mendefinisikan Cool Japan
sebagai kebijakan strategi diplomasi Jepang
melalui budaya populer dan industri kreatif,
termasuk anime, manga, kuliner, film, musik,
dll, yang melibatkan pihak pemerintah dan juga
swasta. Sebagai sebuah kebijakan strategis,
Cool Japan juga dilingkupi oleh pro dan kontra.
Awalnya, Cool Japan merupakan sebuah program
tentang budaya populer Jepang yang disiarkan di
NHK TV tahun 2004. Seiring berjalannya waktu,
program TV tersebut kemudian mulai diadaptasi
menjadi sebuah kebijakan diplomasi luar negeri
oleh MOFA. Di bawah MOFA, Pemerintah Jepang
mulai memanfaatkan budaya populer untuk
membentuk citra positif Jepang di mata dunia
(Nakamura dalam Yudoprakoso, 2013). Melalui
Cool Japan, pemerintah Jepang seolah ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa negaranya
adalah negara yang baik, cinta damai, dan kaya
akan budaya, tidak hanya budaya tradisional
melainkan juga budaya populer seperti anime dan
manga (Yudoprakoso, 2013). Pada tahun 2011,
METI mengambil alih kebijakan Cool Japan
yang berdampak cukup signifikan pada perubahan
tujuan dari Cool Japan itu sendiri. Di bawah
METI, pemerintah Jepang mulai berorientasi
dan berfokus pada nilai profit yang dihasilkan
dari industri budaya pop. Menurut METI, ada 18
sektor yang dinaungi oleh Cool Japan, mulai dari manga, anime, film, serial drama, sampai industri
makanan dan fashion, digarap secara serius oleh
pemerintah Jepang.
Metode penelitian :
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah analisis kualitatif deskriptif. Metode ini mencakup:
1. Pengumpulan Data Sekunder : Artikel ini mengumpulkan informasi dari berbagai sumber literatur, termasuk jurnal akademik, artikel, buku, dan laporan terkait anime dan fenomena budaya populer Jepang.
2. Analisis Konseptual : Artikel ini menghubungkan konsep-konsep seperti Gross National Cool (GNC) dan soft power dengan fenomena anime, serta menjelaskan bagaimana konsep-konsep ini relevan dalam konteks globalisasi budaya Jepang.
3. Studi Kasus : Artikel memberikan studi kasus mengenai popularitas Doraemon dan bagaimana anime digunakan dalam diplomasi budaya Jepang melalui inisiatif seperti Cool Japan.
4. Peninjauan Historis : Artikel ini menyajikan sejarah perkembangan anime, mulai dari produksi awal hingga perannya dalam masyarakat Jepang dan di tingkat global.
5. Sintesis Teoritis : Artikel menggabungkan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu (kajian budaya, media, komunikasi) untuk menjelaskan fenomena anime sebagai bagian dari soft power Jepang.
Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai anime sebagai fenomena global dan dampaknya terhadap budaya populer serta diplomasi internasional Jepang.
Hasil dan pembahasan (Kesimpulan) :
Perkembangan anime sampai saat ini
menunjukkan adanya kecenderungan bahwa
perkembangan anime sebagai bagian dari budaya
populer Jepang, juga diikuti oleh perkembangan
industri kreatif yang merupakan produk turunan
dari anime itu sendiri, seperti maraknya eventevent berbau Jepang, menjamurnya berbagai
produk bernuansa anime, dan semakin banyaknya
pegiat budaya populer Jepang. Hal ini kemudian
menimbulkan pertanyaan bagaimana memaknai
masuknya budaya populer Jepang yang kian deras
ini. Pada penyelenggaraan AFAID yang pertama
kalinya tahun 2012, komik asli karya anak bangsa
berjudul “Volt”, mulai diperkenalkan ke publik.
Nama Volt diambil dari tokoh utamanya, Volt,
seorang pahlawan super pembela kebenaran
namun tetap membawa nilai-nilai bangsa
Indonesia. Namun sayang, popularitas komik
ini masih jauh tertinggal dengan komik Jepang
ataupun anime yang notabene merupakan karya
bangsa lain.
Dengan memahami sejarah perkembangan
anime dari awal kemunculannya hingga masa
kini seperti yang disampaikan dalam buku ini,
bisa diketahui bahwa anime bisa berkembang
karena adanya sinergitas antara berbagai pihak
di Jepang. Mulai dari kreator dan praktisi
anime yang konsisten berkarya, akademisi
yang terus mengkaji dan mengajarkan anime,
serta pemerintah dan sektor swasta yang
bersinergi dalam mengemas anime dalam
industri kreatif hingga bisa diterima masyarakat
global. Pemerintah Indonesia sebaiknya mulai
memikirkan bagaimana seharusnya bertindak
agar masuknya industri kreatif ini bisa bermanfaat
juga bagi Indonesia, seperti yang Pemerintah
Korea Selatan telah lakukan dengan melakukan
beberapa adaptasi saat budaya populer Jepang
masukke negaranya tahun 1960-1970-an. Di era
internet saat ini, hal tersebut memang merupakan
tantangan yang berat, karena arus informasi juga
bergerak semakin cepat dan bebas, di samping
perbedaan konteks sosial politik dengan masa
lalu. Pemerintah Indonesia juga bisa belajar dari
Jepang bagaimana mengemas industri kreatifnya
untuk dijual ke seluruh dunia, sebagaimana yang
telah Korea Selatan lakukan dengan Korean
Wave3
-nya. Saat ini, tidak dapat dipungkiri, Korea Selatan telah menjadi salah satu negara
saingan Jepang dalam hal budaya populer dan
industri kreatif, selain Amerika dan Inggris.
Apa yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia
adalah belajar mengadaptasi dan mengambil
manfaat dari masuknya industri kreatif Jepang
bagi pengembangan kemajuan industri kreatifnya
sendiri. Hal ini akan bisa terlaksana apabila
seluruh pihak bersinergi dan bekerjasama
dengan baik, seperti yang telah Jepang lakukan
terhadap Astro Boy, Doraemon, dan proyek
Cool Japan-nya. Pada akhirnya, buku ini dapat
dijadikan sebagai satu referensi untuk memahami
perkembangan anime di Jepang, serta bagaimana
ia memberikan pengaruh kepada kawasan lain,
sebagai pelengkap sudut pandang akademisi Barat
yang cenderung fokus pada pengaruh apa yang Barat berikan dalam perjalanan perkembangan
anime di Jepang.
JURNAL 9
Judul : Makna Ragam Bahasa Jepang Danseigo Dalam Komik Doraemon Volume 3
Penulis : Vamelia Aurina Pramandhani.
Link : https://unaki.ac.id/ejournal/index.php/jurnal-culture/article/view/2 69/245
Bahasa Jepang memiliki bentuk keterampilan dalam percakapan yang berbeda dengan bahasa lain didunia,yaitu ragam bahasa Danseigodan ragam bahasa Joseigo. Ragam bahasa danseigo adalah ragam bahasa yang sering dipakai oleh pria di Jepang ketika berkomunikasi. Danseigo merupakan bahasa laki–laki yang cenderung kasar dan nonformal. Jarang ditemukan danseigo ketika acara formal. Biasanya pria menggunakan bahasa Jepang standart atau menggunakan keigojika lawan bicaranya merupakan orang terhormat. Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana makna dan fungsi shuujoshi dalam danseigo yang ditemukan dalam komik Doraemon volume 3? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan fungsi shuujoshi dalam danseigo yang ditemukan dalam komik Doraemon volume 3. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan dalam analisis penelitian ini adalah sumber tertulis yaitu komik Doraemon volume 3. Dalam komik ini ditemukan bentuk percakapan yang menggunakan ragam bahasa dan seigo. Selain itu, juga ditemukan pemakaian shuujoshi (bunyi pada akhiran kalimat)(~sa, ~kana/na, ~yo, ~ze, ~zo) dan penggunaan ninshou daimeishi (boku, kimi, omae, aitsu, soitsu).Hal ini disebabkan karena tokoh komiknya didominasi oleh anak laki–laki. Maka dari itu penggunaan danseigo diketemukan dalam komik Doraemon Volume 3.
1. Teori Danjoatau Gender Danjo adalah ragam bahasa Jepang yang tercipta dari dua huruf kanji yakni kanji(男) yang berarti pria/ laki –laki dan kanji (女)yang berarti perempuan. Dalamilmu sosiolinguistik, istilah gendermengacu pada perbedaan jenis kelamin dari penutur bahasa tersebut (pria atau wanita). Berbagai pengamat bahasa telah menyatakan bahwa terdapat perbedaan pengguna bahasa olehpria dan wanita dalam berbagai masyarakat didunia.
2. Perbedaan antara Danseigodan JoseigoRagam bahasa lisan memiliki perbedaan yang mencolok dari penerapan danseigodan joseigopada kehidupan sehari –hari. Perbedaan ini terlihat sejak anak –anak di Jepang berusia 3 tahun. Ragam bahasa lisan ini juga disebut dengan bahasa gender. Gendermenjadi peran utama dalam pemaknaan suatu bahasa lisan dan bukan ditentukan secara gramatikal. Pererapan bahasa lisan berdasarkan genderbagi beberapa kelompok penutur tertentu, ada yang diterapkan secara berkebalikan. Saat laki –laki bicara dengan menggunakan joseigo, maka penutur dianggap memiliki kepribadian seperti perempuan (waria). Namun hal ini tidak menyalahi aturan secara gramatikal. Seangkan jika seorang penutur wanita bicara dengan menggunakan danseigo, maka akan menciptakan kesan sifat yang kasar. Perbedaan danseigodan joseigodapat ditemukan dalam beberapa aspek kebahasaannya seperti: kata benda (meishi), kata ganti (dameishi), kata akhiran (shuujoshi) dan kata seru (kandoushi).
3. Penggunaan Danseigo dalam Shuujoshi Bahasa Jepang sangat identik dengan partikel. Banyak jenis partikel yang digunakan dalam penulisan kalimat bahasa Jepang. Letak partikel biasanya berada ditengah dan di akhir kalimat. Ada beberapa partikel yang ditemukan di akhir kalimat yang disebut shuujoshi. Fungsi partikel ini muncul ketika sedang menggunakan bahasa Jepang lisan. Shuujoshi diucapkan dengan diikuti intonasi suara yang bertujuan untuk menyampaikan suatu emosi yang sedang dirasakan oleh penutur. Penerapan shuujoshi juga dapat berfungsi untuk memperhasul atau mempertegas kalimat yang dituturkan. Beberapa partikel shuujoshiyang dipakai dalam bahasa Jepang lisan ini jugadibedakan berdasarkan gender. a. Shuujoshiuntuk danseigodiantaranya sebagai berikut:
1. Ze: berfungsi untuk menyatak suatu keinginan Contoh : ―Shasshin toru ze. = ―ayo kita berphoto!
2. Zo: Meski terdengar kasar, namun partikel ini berfungsi untuk mempertegas suatu pernyataan. Selain itu juga dapat diterapkan untuk menarik perhatian lawan tutur. Contoh : ―Minna ikuzo! = ―Ayo semuanya!!
3. Na: Berfungsi sebagai larangan atau perintah. Namun, jika diucapkan dengan intonasi suara yang rendah, maka akan berubah fungsi menjadi suatu pernyataan pendapat. Contoh : ―Kono sushi wo taberuna!‖ = ―Jangan makan sushi ini!‖ (larangan).
Metode penelitian :
Pada penelitian kali ini, penulis menerapkan metode penelitian deskriptifkualitatif. Penelitian deskriptif merupakan salah satu cara penelitian yang dilakukan dengan menggunakan suatu objek yang sesuai dengan realita untuk diinterpretasikan Penelitian deskriptif juga disebut penelitian noneksperimen. Pada penerapan metode penelitian ini peneliti dilarang melakukan manipulasi variabel dan harus menyajikan fakta. Sehingga peneliti murni hanya mendeskripsikan hasil penelitiannya. Deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang menerapkan metode pengumpulan data yang didapat secara langsung dari narasumber, baik secara tulisan maupun lisan. Pengumpulan data dengan menggunakan metode ini dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada narasumber, melakukan observasi ke lapangan serta juga didapatkandari hasil diskusi. Dari data–data yang dikumpulkan seorang peneliti, akan dikembangkan menjadi sebuah rangkuman data yang kompleks.
Hasil dan pembahasan (Kesimpulan) :
Bahasa Jepang memiliki dua jenis bahasa yakni formal dan informal. Bahasa formal digunakan ketika perkenalan atau pada suatu acara resmi dan berhadapan dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi atau lebih dihormati. Sedangkan bahasa informal digunakan pada sesama teman yang sudah akrab atau dengan keluarga. Suatu keterampilan sangat dibutuhkan dalam penyampaian suatu bahasa. Bahasa Jepang mempunyai keterampilan yang berbeda dalam percakapan dengan bahasa lain didunia yaitu adanya ragam bahasa Danseigo dan ragam bahasa Joseigo. Danseigo adalah ragam bahasa Jepang lisan yang dipakai oleh laki –lakidi Jepang. Umumnya danseigo merupakan bahasa lisan yang dapat memunculkan karakter sifat kasar dan nonformal pada penuturnya yakni laki –laki. Danseigo jarang ditemukan saat ada acara formal. Biasanya pria menggunakan bahasa Jepang umum atau menggunakan keigo (bahasa sopan tingkat tinggi) jika lawan bicaranya merupakan orang terhormat. Penggunaan shuujoshi pada danseigo bertujuan sebagai penegasan suatu kalimat. Bentuk shuujoshi dalam danseigo antaralain ~ze ; ~zo ; ~sa ; ~nadan sebagainya. Setiap shuujoshi pada setiap kalimat memiliki maknayang berbeda.
JURNAL 10
Judul : Hubungan Antara Intesitas Membaca Komik Jepang Bertema Kepahlawanan dengan Perilaku Menolong pada Remaja.
Penulis : Angki Trasna Putri. S
Link : https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/25311
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara intensitas membaca komik Jepang yang bertema kepahlawanan dengan perilaku menolong pada remaja. Dugaan awal yang diajukan pada penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara intensitas membaca komik Jepang bertema kepahlawanan dengan perilaku menolong pada remaja. Semakin tinggi intensitas membaca komik tersebut, maka semakin tinggi pula terjadinya perilaku menolong pada remaja. Sebaliknya semakin rendah intensitas membaca komik tersebut, maka semakin rendah pula terjadinya perilaku menolong pada remaja. Subyek pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMA yang berusia antara 15-18 tahun. Uji coba penelitian dilakukan di SMAN 1 Depok Sleman Yogyakarta. Adapun skala yang digunakan adalah skala intensitas membaca komik Jepang yang terdiri dari beberapa aspek yaitu frekuensi membaca,biaya yang dikeluarkan, waktu yang dihabiskan, semangat mendapatkan komik dan berjumlah 15 aitem. Sedangkan skala perilaku menolong yang memiliki aspekaspek antara lain kebaikan hati, derma, peran serta dalam keadaan darurat berjumlah 60 aitem. Dan untuk penelitiannya sendiri dilakukan di SMAN 6 Yogyakarta. Setelah melakukan uji coba, maka skala intesitas membaca komik Jepang berubah menjadi 11 aitem dan untuk skala perilaku menolong menjadi 36 item. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan SPSS versi 10.00 for windows untuk menguji apakah terdapat hubungan positif antara intensitas membaca komik Jepang bertema kepahlawanan dengan perilaku menolong pada remaja. Korelasi product moment dari Karl Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,351 yang artinya adalah adanya hubungan yang signifikan antara intensitsas membaca komik Jepang bertema kepahlawanan dengan perilaku menolong pada remaja.
Metode penelitian :
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kuantitatif korelasional.
JURNAL 11
Judul : Komik : Media Pembelajaran
Penulis : Makmun
Link : https://journal.unismuh.ac.id › ...PDF
Jurnal Pendidikan Seni Rupa Komik : Media Komunikasi Pembelajaran
Menurut Pranata (2003), seseorang akan belajar secara maksimal jika berinteraksi dengan stimulus yang cocok dengan gaya belajarnya. Dengan demikian, mahasiswa desain komunikasi visual akan dapat belajar secara maksimal jika yang bersangkutan belajar dengan memanfaatkan materi atau media yang bersifat visual. Materi atau media yang bersifat visual tersebut antara lain dapat berbentuk peta (maps), diagram, poster, komik, dan media belajar berbasis komunikasi visual lainnya. Komik sebagai media pembelajaran merupakan salah satu media yang dipandang efektif untuk membelajarkan dan mengembangkan kreativitas mahasiswa desain komunikasi visual.
Seperti diketahui, komik memiliki banyak arti dan debutan, yang disesuaikan dengan tempat masing-masing komik itu berada. Secara umum, komik sering diartikan sebagai cerita bergambar. Scout McCloud (2001) memberikan pendapat bahwa komik dapat memiliki arti gambar- gambar serta lambang lain yang ter-jukstaposisi (berdekatan, bersebelahan) dalam urutan tertentu, utuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya. Komik sesungguhnya lebih dari sekedar cerita bergambar yang ringan dan menghibur3. Komik bukan cuma bacaan bagi anak-anak. Komik adalah suatu bentuk media komunikasi visual yang mempunyai kekuatan untuk menyampaikan informasi secara popular dan mudah dimengerti. Hal ini dimungkinkan karena komik memadukan kekuatan gambar dan tulisan, yang dirangkai dalam suatu alur cerita gambar membuat informasi lebih mudah diserap. Teks membuatnya lebih dimengerti, dan alur membuatnya lebih mudah untuk diikutidan diingat. Dewasa ini komik telah berfungsi sebagai media hiburan yang dapat disejajarkan dengan berbagai jenis hiburan lainnya seperti film, TV, dan bioskop. Komik juga merupakan media komunikasi visual dan lebih daripada sekedar cerita bergambar yang ringan dan menghibur. Sebagai media komunikasi visual, komik dapat diterapkan sebagai alat bantu pendidikan dan mampu menyampaikan informasi secara efektif dan efisien. Seperti diketahui, gaya belajar terdiri atas gaya visual, gaya auditori, dan gaya keptik. Gaya belajar visual merupakan gaya belajar yang lebih mengandalkan indera visual untuk menyerap informasi. Mahasiswa desain komunikasi visual diduga cenderung memiliki gaya belajar visual. Kecenderungan ini terbentuk karena dalam kesehariannya mahasiswa yang bersangkutan lebih berinteraksi dengan objek visual.
Komik sebagai media, berperan sebagai alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Komik sebagai media pembelajaran merupakan alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Dalam konteks ini pembelajaran menunjuk pada sebuah proses komunikasi antara pelajar (mahasiswa) dan sumber belajar (dalam hal ini komik pembelajaran). Komunikasi belajar akan berjalan dengan maksimal jika pesan pembelajaran disampaikan secara jelas, runtut, dan menarik. Pesan pembelajaran yang baik memenuhi beberapa syarat. Pertama, pesan pembelajaran harus meningkatkan motivasi pelajar. Pemilihan isi dan gaya penyampaian pesan mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pelajar. Kedua, isi dan gaya penyampaian pesan juga harus merangsang pelajar memproses apa yang dipelajari serta memberikan rangsangan belajar baru.
Metode penelitian :
Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif.
JURNAL 12
Judul : Pembelajaran Interaktif Melalui Media Komik Sebagai Solusi Pembelajaran di Masa Pandemi.
Penulis : Tri Mulyati, Rida Fironika Kusumadewi, Nuhyal Ulia.
Link : https://journal.uniku.ac.id/index.php/pedagogi/article/view/4054
Kegiatan belajar interaktif bukan menekankan pada hasil namun lebih ke proses belajar, sehingga bagaimana seorang guru dapat membuat siswa lebih mudah menguasai pelajaran yang tidak diperoleh dari kegiatan menghafal namun dari mengalami atau pengalaman. Dalam mempermudah memahami pelajaran perlunya alat atau media penunjang, pada masa pandemic media memiliki peran penting dalam meraih tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pembelajaran interaktif melalui media komik bagi siswa kelas II sebagai solusi pembelajaran dimasa pandemi. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif. Data hasil penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara dan angket yang diambil dari beberapa responden sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran interaktif melalui media komik sebagai solusi pembelajaran dimasa pandemic cukup memenuhi kriteria dan memberikan nuansa baru dalam pembelajaran serta meningkatkan hasil belajar siswa. Diharapkan pendidik menguasai strategi yang digunakan dan memaksimalkan dalam penggunaan media.
Metode Penelitian :
Metode penelitian dalam Jurnal ini adalah Deskriptif kualitatif.
JURNAL 13
Judul : Kebudayaan Lokal dalam Komik Superhero Indonesia
Penulis : Rendya Adi Kurniawan.
Link : https://journal.isi.ac.id/index.php/invensi/article/view/1803/531
Komik superhero adalah salah satugenre komik yang cukup berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. Komik superhero adalah sebuah komik yang menceritakan perjalanan seorang Superhero atau lebih, dalam menjalankan misinya memperjuangkan nilai-nilai kebaikan bagi kepentingan umum. Karena dalam penelitian ini difokuskan pada komik superhero Indonesia, maka yang akan menjadi bahan penelitian adalah komik-komik superhero yang berasal dari Indonesia. Komik genre ini mulai berkembang pada era tahun 50an. “[...], misalnya Sri Asih. Komik yang diterbitkan sejak tahun 1954, [...], melukiskan petualangan perempuan super [...] dan dianggap sebagai komik Indonesia pertama.” (Bonneff, 2008:24). Bila komik Sri Asih ciptaan Kosasih ini dijadikan patokan bagi awal pertumbuhan komik Indonesia, maka tak salah bila Sri Asih juga dikatakan sebagai pelopor munculnya komik dengan genre superhero.
Superhero Indonesia adalah tokoh komik pahlawan super yang diciptakan dan
diterbitkan di Indonesia. Secara umum, bisa diartikan sebagai pahlawan super. Artinya adalah karakter yang mempunyai kekuatan super, dan memanfaatkan kekuatan tersebut untuk menolong yang membutuhkan. Namun ,Menurut Peter Coogan dalam artikelnya yang berjudul “The Definition of Superhero” (2007), karakter tersebut layak dianggap sebagai seorang superherojika memenuhi beberapa kriteria. Menurut Coogan, “aSuperhero is “a heroic character” with a mission, super powers and a specific,recognizable identity”(Coogan, 2007:21). Dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai misi, kekuatan dan identitas yang spesifik dan mudah dikenali. Secara garis besar definisi superheroIndonesia adalah karakter pahlawan yang memiliki misi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan tanpa pamrih, memiliki kekuatan super, memiliki identitas rahasia untuk melindungi jatidirinya serta merupakan hasil kreasi asli dari Indonesia. Adapun contoh komik yang digunakan dalam penelitian ini adalah komik Nusantaranger dan komik Titisan Gatotkaca. Pemilihan tersebut berdasarkan satu alas an pokok yaitu komik Nusantaranger dan Titisan Gatotkaca merupakan dua komik yang mengedapankan penggunaan kebudayaan lokal sebagai ide besar untuk mengerjakan konsep cerita dan desain karakternya. Bila komik Nusantaranger menggunakan kebudayaan lokal dari berbagai daerah di Nusantara yang kemudian dijadikan satu dalam komik tersebut, maka komik Titisan Gatotkaca memilih menggunakan kebudayaan local yang lebih spesifik, yaitu wayang.
Metode penelitian :
Dalam penelitian ini, akan digunakan pendekatan visual methodologies dari Gillian Rose(2001). Metode ini dipilih setelah menelaah dalam penelitian visual ,Penelitian visual dibagi menjadi tiga sudut pandang area yang dapat diambil oleh peneliti. Ketiga sudut pandang tersebut adalah the site of the production of an image,the site of imageit self dan site where it is seen by various audience.
JURNAL 14
Judul : Perkembangan Trend Membaca Komik Pada Era Digital di Indonesia.
Penulis : Dimas Arianto Putro, Irwansyah.
Link : file:///C:/Users/MyBook%20Hype/Downloads/PERKEMBANGAN_TREN_
MEMBACA_KOMIK_PADA_ERA_DIGITAL_D.pdf
Transformasi digital yang terjadi pada bidamg seni, termasuk pada komik, tentunya mendapat berbagai respon dari pencipta karya, penggiat ataupun sekedar penikmat komik itu sendiri. Menurut topreneur.id saat mewawancara Head of Business Developmentdari CIAYO comics, Krishnawan Adhie, pada 2019, CIAYO comics sudah menarik sebanyak 30 juta pembaca sejak mereka pertama kali meluncurkan komik-komik digital mereka di internet dan mereka optimis angka ini akan terus meningkat seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, sekaligus perkembangan dari para komikus sendiri (topreneur.id, 2019). Para penggemar komik di Indonesia melihat perkembangan komik pada saat ini sebagai kemajuan dari teknologi itu sendiri. Popularitas komik digital atau online terus berkembangan dan meningkat sejak awal komik digital muncul dan populer. Data dari similarweb.com, untuk platform webtoon pada periode April hingga Juni 2020, laman tersebut dikunjungi sebanyak 27.08 juta kunjungan di Indonesia, dan mencapai hingga 53.81 juta kunjungan secara global pada bulan juni 2020 (similarweb.com, 2021). Keberadaan komik digital awalnya dinilaisebagai penggerus komik versi cetak, namun di Indonesia keberadaan komik cetak tetap masih digemari oleh penggemar komik.
Metode penelitian :
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian studi kasus dengan paradigma Kualitatif. Studi kasus adalah pendekatan yang menonjol dalam ilmu sosial dan salah satu yang, menurut pengalaman kami, sangat populer di kalangan pascasarjana siswa (Rule, Balfour & Davey, 2011). Meskipun ini popularitas, pendekatan telah menjadi subjek kritik dan kebingungan dalam jurnal ini dan di tempat lain. Van Wynsberghe dan Khan (2007) menarik perhatian pada anomali itu, meski teratur penggunaan studi kasus, banyak definisi yang tidak teratur dan buruk. Verschuren (2003) menunjukkan ambiguitas dan kurangnya kejelasan tentang objek studi dan bagaimana objek ini belajar. Flyvbjerg (2006) terlibat dengan dan menghilangkan prasangka lima umum kesalahpahaman tentang penelitian studi kasus.
JURNAL 15
Judul :
Penulis :
Link :